PAST
"Pagi, Om," sapa Kiano ramah saat pintu yang barusan diketuknya dibuka oleh si empunya rumah.
Arif membalas senyum yang tampil di wajah bocah tujuh tahunan itu. Senyum yang selalu Ia tunjukkan agar orang lain melihatnya tanpa sedikitpun merasa kasihan. Sayangnya pagi ini sekalipun senyumnya begitu mengembang, matanya yang sembap tidak bisa menyembunyikan keadaannya. Sebagai tetangga, hal ini bukan pemandangan asing lagi bagi Arif dan keluarganya. Setiap hari libur sekolah, Kiano sering pagi-pagi datang ke rumahnya. Ia dekat sekali dengan Awan, anak sulungnya yang memang sepantaran Kiano.
Sebenarnya kalau dipikir, Kiano seperti tidak cocok berteman dengan Awan, anaknya. Mereka berdua terlalu bertolak belakang. Kalau pagi-pagi Kiano datang ke rumahnya sambil membawa beberapa buku pelajaran, jauh berbeda dengan Awan, yang belum lima menit yang lalu pulang dengan badan sudah berlumuran lumpur. Katanya, jatuh waktu main bola di lapangan. Usai subuh tadi anak itu memang pamit untuk main bola. Mumpung hujan, katanya. Ya, main bola mumpung hujan.
"Pagi, Ian. Ayo, masuk dulu. Awan barusan aja pulang, katanya dari lapangan. Kamu tadi gak ikut?"
Kiano menggeleng lalu masuk setelah Arif memberinya jalan.
"Awan lagi mandi," beritahu Arif saat mereka sampai di ruang tengah. "Kamu mau nunggu di sini atau ke kamarnya?"
"Di sini aja, Om. Kian ke sini sebenarnya mau numpang ngerjain PR."
Mendengar itu, Arif mengelus rambut Kiano lembut. Untuk sekedar mengerjakan tugas saja, Kiano kecil sampai mencari tempat di luar rumahnya.
"Ya sudah, kamu tunggu dulu aja ya. Nanti selesai mandi pasti Awan kesini."
Kiano menurut lalu duduk menaruh dua buku yang dibawanya dari rumah.
Tujuannya hari ini memang bukan untuk bermain. Dua hari terakhir semua tugas yang diberikan sekolah tidak bisa Ia kerjakan karena kondisi rumahnya yang kurang kondusif.
Ibunya dua hari yang lalu pulang. Kalau anak lain akan berlari memeluk sang ibu setelah semingguan tak bertemu, Kiano tidak seperti itu. Setiap Ibunya pulang, Ia malah ingin berlari sejauh mungkin dari rumah. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi saat sang ibu bertemu dengan ayahnya. Tidak pernah seharipun telinganya bisa tenang jika dua orang dewasa itu sudah dipertemukan. Inginnya Ia mengurung diri di kamar seharian, tapi teriakan kedua orang tuanya yang sering tiba-tiba memuncak bersahutan selalu berhasil menembus dinding kamarnya.
Rumahnya sendiri bisa dibilang paling megah dibandingkan jejeran rumah lain di sekitarnya. Taman yang luas di sisi depan dan samping seakan bisa menghipnotis siapapun yang memandangnya. Syahdu, tenang, aman, mungkin itu yang akan dipikirkan orang asing saat melihat bagian depan rumah keluarganya. Setidaknya selama mereka tidak mendengar kegaduhan yang tercipta oleh penghuninya.
"Ki!"
Kiano yang tengah fokus dengan buku soalnya langsung menoleh kaget saat seseorang memanggilnya. Sebenarnya Kiano bisa menebak dari cara orang itu menyapanya. Tentu saja bukan Awan, love language-nya Awan itu physical attack, daripada memanggil namanya, Awan lebih sering langsung menepuk punggung Kiano kuat-kuat lalu merangkulnya gemas.
"Ngapain?" tanya seorang anak seusianya, Pelangi, Awan versi perempuan dan jauh lebih kalem.
"Ngerjain PR," balas Kiano sebelum akhirnya kembali fokus pada bukunya.
Pelangi lalu ikut duduk di sebelahnya, memperhatikan tugas apa sebenarnya yang sedang dikerjakan Kiano. Mereka satu kelas, tentu tugas mereka harusnya sama.
"Oh, yang ini aku sudah. Kamu mau lihat?" tawar Pelangi saat menyadari Kiano sedang mengerjakan tugas perkalian.
"Gak usah."

KAMU SEDANG MEMBACA
Trigonomarry
Novela JuvenilKian tahu, ia hidup dengan selalu terjebak dalam segitiga. Setiap perasaan membentuk sudut, dan setiap konflik menjadi sisi yang tak bisa ia abaikan. Dalam hidupnya, tak pernah ada hubungan yang membentuk garis lurus. Selalu ada variabel tak dikenal...