prelude

0 0 0
                                    

I have always been afraid

To stare into the eyes of someone

To be face to face with someone

To smile at someone

To be happy with someone

All those fears come together

Wrapped around me

That I am bounded

By the fear of me

Then I shall break your fears

That you may stare at me

That you may stand in front of me

That you may smile at me

That you may be happy with me

Jangan tatap matanya. 

Jangan tatap matanya. Rapalan itu dia ucap tanpa lelah di hatinya. Dia nggak mau menatap mata siapa-siapa. Dia mau tetap nggak kelihatan sehingga dia nggak perlu menatap mata siapapun. Namun, keberuntungan miliknya sedang tidur lelap bikin dia jadi kelihatan dan harus merasakan tatapan yang mengarah kepadanya. 

Tangannya dengan asal mengambil makan siang dengan menu yang nggak dia sukai. Kari serta satu potong chicken katsu yang akan dia singkirkan nantinya dan buah stroberi yang bahkan dia benci buat memegangnya.

Langkahnya yang terburu-buru bikin dia nggak memperhatikan lagi bahwa di belakangnya ada siswa yang hendak berdiri, menubruk food try miliknya hingga mengenai seragam bagian depan dan hampir jatuh ke belakang—jika seseorang nggak menahan tubuhya dengan tangan yang terpatri pada pinggangnya.

"Bisa lihat-lihat nggak kalau bangun?"

Bukan. Bukan dia yang disalahi. Melainkan siswa laki-laki tersebut yang duduk kini menunduk dengan gumaman permintaan maaf. Food try di genggamannya beralih dalam sekejap untuk diserahkan pada siswa laki-laki tersebut.

"Tolong taruh di troli."

Bisa dia rasakan blazer sekolahnya yang terkena kuah kari ditimpa oleh blazer laki-laki yang menahan tubuhnya. Dia masih menunduk nggak berani menatap pada apa pun karena dia tahu, pusat perhatian ada pada dirinya dan sosok laki-laki di hadapannya.

Tangannya digenggam untuk ditarik dari kerumunan food hall. Dia pasrah sebab bibirnya terkunci rapat—kelu bahkan untuk menolak tarikan pada tangannya. Langkah mereka terhenti pada sebuah ruangan dengan banyak manekin mengenakan seragam khas sekolah mereka.

"Tolong, seragam baru. Buat ukuran—" Ucapannya terhenti sesaat, lalu kembali terdengar dengan jawaban yang tepat. "S."

Genggaman pada tangannya beralih pada gantungan yang berisi seragam putih, dasi persegi panjang, rok bermotif kotak-kotak dengan warna biru dan hitam, serta blazer biru tua khas sekolah mereka.

"Ganti, ya. Kalau ukurannya kekecilan atau kebesaran ketuk pintu aja, nggak perlu keluar. Nanti gue kasih ukuran yang pas."

Didorongnya dengan pelan tubuhnya untuk memasuki kamar mandi di sebelah mereka. Dia terdiam buat sesaat. Nggak mengerti alasan laki-laki tersebut repot-repot membantunya yang bahkan nggak dia tatap sekalipun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Say Those Three Little WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang