DAY 03

138 6 1
                                    

"BENGONG aja lo!" seru seseorang menyadarkan lamunan Adnan.

Suara itu milik Chiko, laki-laki yang menjadi sahabat terdekat Adnan sejak duduk di sekolah dasar. Wajahnya putih dan sedikit chubby, tetapi postur tubuhnya tetap bisa dikatakan ideal. Berbanding terbalik dengan Adnan, Chiko cenderung mempunyai kapasitas otak yang seadanya. Tidak pintar, tetapi tidak bodoh juga.

"Muka lo kusut amat? Mikirin apa, sih?" timpal Gio yang duduk tepat di samping Chiko, salah satu teman dekat Adnan. Giulio atau biasa dipanggil Gio, sengaja dipanggil Gio karena nyaris semua orang sulit menyebutkan namanya.

Adnan yang duduk di seberang mereka berdua menggeleng pelan dengan posisi tubuhnya yang tak berubah sejak tadi - bersandar di bangku kantin dengan tatapan kosong di atas meja. Nampak jelas sekali bahwa laki-laki itu seperti digerayangi sesuatu. "Gue masih kepikiran aja, apa gue masih bisa maju ke kampanye?"

Sejak mendengar kabar bahwa Dara mengundurkan diri dari pencalonan sebagai wakil ketua OSIS, Adnan tidak bisa berhenti memikirkan dampaknya terhadap pencalonannya sendiri. Ia khawatir bahwa mundurnya Dara mungkin akan memengaruhi posisinya sebagai calon ketua OSIS.

"Yailah, masih aja dipikirin," sahut Gio. "Ada atau nggaknya Dara, gue yakin lo layak maju ke kampanye, Bro."

"Setuju." Chiko mengiyakan. Kepalanya mengangguk, mengakibatkan rambut mangkoknya ikut bergerak.

Laki-laki itu mendesah pelan sembari memperbaiki posisi duduknya. "Gue cuma takut, siapa pun yang jadi cawaketos gue nanti nggak satu pikiran sama gue. Karena gue merasa cuma Dara yang visi misinya cocok sama gue."

"Lagian lo ambisius banget jadi ketos, Nan," timpal Gio. "Maksudnya, lo 'kan anak olim, berprestasi pula, ngapain harus bela-belain masuk OSIS? Apa yang lo cari di OSIS?"

Chiko mengangguk lagi. Menyetujui ucapan Gio. "Jarang loh anak olim ikut organisasi sekolah."

"Apalagi lo baru balik dari OSN," lanjut Gio. "Ambisius sih, tapi kayaknya nggak segitunya juga, deh."

"Lo berdua nggak paham," bantah Adnan.

"Makanya jelasin," cerca Gio.

Adnan menggeleng sebelum menaruh kedua tangannya di atas meja dan bangkit dari duduknya, enggan untuk menceritakan semuanya kepada kedua temannya itu. "Gue mau beli minum dulu."

Baru saja laki-laki itu bangkit, Chiko justru menahan lengannya. "Nitip juga minum juga, dong."

Bukannya mengiyakan, Adnan justru mengadahkan tangan kanannya tepat di depan wajah Chiko. Meminta uang.

"Pake duit lo dulu, nanti gue ganti," ujar Chiko yang langsung dibalas Adnan dengan gelengan kepala. Ia tahu bahwa ucapan Chiko hanyalah omong kosong belaka.

Terlihat Chiko mendengus kesal sembari merogoh saku bajunya dan mulai mengeluarkan beberapa lembar uang receh. "Pelit."

Adnan menerima uang Chiko tanpa meninggalkan sepatah kata dan bergegas pergi ke salah satu kios yang tak jauh dari meja mereka.

Sesampainya di kios Bu Muni, Adnan berdiri di depan sebuah lemari pendingin. Tangannya bergerak untuk pintu lemari pendingin itu, lalu sebuah kopi kemasan yang menjadi kopi kesukaannya, diambil dari tempatnya.

"Jadi berapa, Bu?" tanya Adnan pada Bu Muni sembari mengangkat kedua botol kopi kemasan itu.

"Delapan ribu."

Adnan merogoh saku seragamnya untuk mengambil beberapa lembar uang dan mulai menyatukannya dengan uang milik Chiko tadi sebelum menyerahkannya kepada Bu Muni. Setelah Bu Muni menerima uang tersebut, perempuan paruh baya dengan hijab hijau mencolok itu berbalik badan dan sedikit menjauh dari Adnan.

On the Day We Call It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang