II : Rama

3 0 0
                                    

Kivandra Parama. Orang yang memerankan tokoh Rama dalam pentas seni drama Ramayana dalam acara HUT SMK Amerta Lantip. Secara teknis, harusnya dirinya lah yang bersinar. Karena bagaimana pun, Rama lah tokoh utama dalam cerita Ramayana, bukan Rahwana. Selain itu, Rahwana merebut pasangannya, yaitu Dewi Shinta. Namun kita tidak sedang berbicara mengenai cerita pewayangan.

Kini pilihannya hanya ada Kivandra Parama, Sandyakala Kauban dan juga Dewi Ambar di sini. Ini adalah pertandingan sebenarnya. Kivandra Parama, bisa saja dia menang mendapatkan hati Dewi Shinta dalam drama sebagai seorang Rama. Namun, apakah dirinya juga akan sukses membuat Dewi Ambar menjadi miliknya?

Semua seolah terasa jelas kala melihat dengan matanya sendiri. Bagaimana setiap kali latihan, serta setelah drama usai, mata gadis itu selalu berusaha menatap seorang lelaki bernama Sandyakala Kauban itu. Dalam drama hanya dia seorang, tetapi di luar itu dia hanya seorang partner. Dia hanya ingin melihat gadis itu aman dalam lindungannya, tertawa bersama dirinya, dan juga tersenyum hanya untuk dirinya.

Akankah senyum itu bisa menjadi miliknya?

Dalam diri seorang Kivandra Parama bersemayam seorang pengarang sajak dengan untaian kata secerah mentari. Deretan kalimatnya mengantarkan keceriaan dan kelembutan, sehangat mentari. Namun akhir-akhir ini untaian katanya membuat bercucur air mata, berlinang kesedihan serta segala haru pilu yang dia rasa. Hati yang sudah tergores itu seolah hancur ketika melihat bahwasanya gadis yang dia sukai tidak akan pernah meliriknya sama sekali.

Sekali pun dia adalah Rama di dunia ini. Namun mungkin kali ini Dewi Shinta akan lebih memilih Rahwana yang telah mencurinya dari Rama. Ya, mungkin Rahwana telah berhasil. Setidaknya dalam dunia lain.

"Kau berhasil. Selamat kepada Rahwana yang telah berhasil merebut Dewi Shinta dari genggamanku, Rama," gumam Kivandra Parama. Selaras dengan dirinya menatap senja di kala hujan reda. Menonton siswa-siswa yang sudah lulus datang ke sini hanya untuk menyalurkan hobi pada adik-adik kelasnya yang menyukai basket.

Keringat bercucur di dahi para pemain basket yang tidak kenal lelah ataupun malu. Mereka bermain suka-suka. Tidak peduli walau pun pihak sekolah tidak pernah berinisiatif mendaftarkan mereka untuk mengikuti pertandingan biarpun mereka sebenarnya ingin. Kivandra Parama, intens melihat pergerakan teman-teman satu sekolah itu.

Tentu mereka saling mengenal. Kivandra Parama, siswa yang tidak mungkin tidak dikenal di kalangan murid-murid. Apalagi setelah pentas drama terakhirnya.

"Oi! Van, join, kuy!" teriak salah satu anak basket di lapangan sana. Semua pemain beralih menatap lelaki yang hanya duduk di pojok lapangan itu.

Kivandra Parama, dengan bola basket yang menggelinding tepat ke arah kakinya, serta dengan tatapan mendukung lelaki yang telah mengajaknya itu. Akhirnya memutuskan memasuki lapangan. Lelaki itu berdiri kemudian melepas seragam putihnya, menyisakan kaos hitam yang dia pakai sebagai dalaman.

Berlari di tengah sorakan para pemain yang tak mengenal usia itu, Kivandra Parama dengan tatapan tajam dan fokus membidik ke arah keranjang lawan, tak mempedulikan apapun lagi, yang dia inginkan hanya untuk memasukan bola itu ke dalam keranjang. Berlari dua langkah, melihat ke sekitar dan kemudian melompat tinggi, menggunakan gerakan lay up dan mencetak skor.

Sorakan itu didengar oleh Kivandra Parama. Membuat sebuah melodi yang tidak akan pernah tidak menyenangkan hatinya. Sejak saat itu lapangan basket menjadi pelampiasannya selain menorehkan sajak puisi. Jika ada yang mempertanyakan apa korelasi dalam keduanya, maka tidak ada.

Kivandra Parama, hanya melakukan apa yang dia pikir benar dan membuat hatinya berkata bahwa hal ini lah yang dia inginkan selama ini. Sekali pun dihancurkan berkali-kali, maka akan dia hancurkan balik semua tekanan itu melalui dua hal yang dia cintai itu.

Yasa Bimantara, pemain basket yang saat itu mendorong Kivandra Parama untuk berani memasuki lapangan basket, hingga saat ini menjadi sahabat sejatinya. Orang itu memang sangat suportif kepada teman-temannya. Juga gampang berteman bahkan dengan lawan jenis. Sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh banyak orang.

"Basket ngga?" tanya Yasa Bimantara, selepas guru matematika mereka yang sedikit kekurangan rambut itu keluar dari kelas.

"Kuy!"

Dengan itu, menyatakan bahwa hari ini, para pemain basket yang menyukai segala hal tentang bermain basket sepenuhnya datang sepulang sekolah ini. Entah itu dari kalangan para alumni, maupun adik-adik kelas yang baru saja tertarik mengikuti ekstrakurikuler basket. Semua boleh bermain, asal memiliki kemauan dan bisa bermain.

Hari itu juga, Hiroki Iswara, yang masih suka mengenang kegiatannya bersama Sandyakala Kauban menyadari keberadaannya.

"Kivandra? Oh, sekarang dia suka basket?"

Sebuah fakta baru bagi Hiroki Iswara. Namun kini dia kembali menatap catatannya. Sajak terakhir yang dia tulis adalah sajak yang dia tunjukan kepada Sandyakala Kauban. Tanpa lelaki itu, inspirasinya hanyalah sebuah ruang kosong yang tidak berujung. Tetapi saat melihat Kivandra Parama, yang di sela istirahatnya justru duduk di samping lapangan sambil menoreh kata-kata, membuat Hiroki Iswara memulai kembali inspirasinya.

Sama-sama menoreh kata, goresan demi goresan membentuk sebuah sajak dan cerita. Sajak yang membawa pikiran lelah Kivandra Parama hilang seketika. Juga cerita di mana Hiroki Iswara, menjadi tokoh utamanya. Dua pribadi yang berbeda, dengan nasib yang diadu bersama di lapangan penuh kerja keras dan keringat ini.

Sama-sama menatap ke arah langit. Menengadahkan kepala membasuh senja meraup wajah mereka. Yang satu berjanji akan segera melupakan orang terkasihnya. Sedangkan yang satu hanya ingin orang terkasihnya menyadari siapa sebenarnya yang pantas untuk bersanding. Namun jelas itu semua hanya sebuah harapan yang nantinya akan menghilang dalam bias cahaya petang.

Yasa Bimantara, yang melihat adanya kesenduan dalam raut wajah sahabatnya, Kivandra Parama memutuskan untuk berhenti sejenak dan menghampirinya. Sekadar untuk menyenangkan lelaki itu.

"Woi, lagi ngapain?" tanya Yasa Bimantara.

Kivandra Parama, yang berpikir dia akan sedikit digoda jika sahabatnya itu melihat adanya catatan kecil yang dia pegang pun segera menyembunyikan benda tersebut di belakang tubuhnya. "Oh, capek aja dikit."

Yasa Bimantara, sahabat sejati yang sudah tahu bahwa Kivandra Parama, si anak desain dengan satu hal yang tidak bisa lepas dari dirinya. Sajak puisi. Justru dia senang memiliki sahabat yang mempunyai hobi merangkai kata. Jarang ada yang seperti itu di sekolah ini.

"Ngga usah disembunyiin kali. Kaya sama siapa aja, dah." Tawa jenaka Yasa Bimantara mengudara keras. Bahkan Hiroki Iswara, yang niatnya hanya bersantai sambil mengumpulkan memori untuk membentuk sebuah cerita di mana dirinya yang paling beruntung itu ikut terganggu.

"Bikin puisi buat siapa? Si Dewi Dewi itu?" tanya sang sahabat.

Kivandra Parama hanya menghela napas. Menandakan bahwa pertanyaan dari Yasa Bimantara benar adanya. Kali ini membuat pemuda penuh keringat dengan seragam basket tanpa lengan itu tertawa pelan. Seolah mengejek nasib Kivandra Parama.

"Jadi, Rama kalah sama Rahwana, ya?"

Kivandra Parama hanya bisa menatap sahabatnya, Yasa Bimantara yang kini menatap ke arah lapangan basket. Semua orang masih bermain sekuat tenaga, menghabiskan sisa energi mereka untuk hari ini. Melepas penat, melampiaskan emosi, tempat untuk melatih, semua adalah bagian dari diri mereka sendiri. Termasuk Yasa Bimantara itu sendiri, basket adalah satu-satunya hal yang bisa dibanggakan dari dirinya. Selain itu, dia hanya nol besar.

"Van, jangan nyerah. Lu boleh sedih, tapi abis itu lupain aja Lampiasin semua di lapangan," ujar Yasa Bimantara sambil menepuk lutut Kivandra Parama.

"Iya, gue tahu. Cuma, 'kan ngga gampang."

"Coba deh sekali sekali lu main tanpa mikirin puisi buat cewe. Atau perasaan lu ke dia. Pikirin aja gimana cara ngalahin musuh di lapangan. Lupain sejenak deh, itu cewe," ujar Yasa Bimantara memberi saran.

Pada akhirnya Kivandra Parama kembali ke lapangan. Mengemukakan bahwa dia akan mencoba berhenti memikirkan Dewi Ambar.

[]

Rahwana KudusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang