Waktu terasa cepat sekali berputar. Jenna bahkan belum selesai mencerna hidupnya beberapa bulan ke belakang dan kini satu minggu sudah ia bekerja di Shore. Beberapa bulan lalu ia masih kebingungan mencari pekerjaan dan akhirnya mendapat program magang karena kakaknya. Lalu banyak hal terjadi yang sebagian besar tidak ingin Jenna ingat hingga ia akhirnya menyelesaikan semua program kuliahnya.
"How's Shore?" tanya Cole. Jenna diajak kakaknya pergi makan malam bersama untuk merayakan pekerjaan baru Jenna.
Mengangguk antusias, Jenna menjawab. "Sangat menyenangkan. Melelahkan, tapi kayaknya gue bakal betah."
"Syukurlah," sahut Cole. "Udah kasih tahu bokap sama nyokap?"
"Gue sempat kirim pesan ke bokap dan telfon nyokap," ujar Jenna. "Tapi mereka makin susah dihubungi."
Jenna tidak mengerti beberapa waktu ke belakang ini kedua orang tuanya selalu saja sibuk. Ibunya berkata kalau mereka sedang sibuk bekerja. Namun memangnya sesibuk apa pekerjaan keduanya? Ayahnya seorang kepala pemasaran dan ibunya berbisnis di sebuah tempat perbelanjaan.
"Mereka tuh kayaknya lupa kalau punya anak," ujar Jenna cemberut.
Cole terkekeh. "Biarin aja. Lagian lo juga di sini sibuk kerja. Biarin mereka tenang tanpa mikirin anak-anaknya yang jauh di New York. Kapan-kapan kita balik ke Indo kalau gue lagi nggak sibuk."
Jenna semakin merengut sambil memainkan makanan di hadapannya dengan kesal. "Kapan lo nggak sibuknya?" gerutu Jenna.
Ia tahu bahwa pekerjaan Cole sangat menyita waktu. Mereka yang tinggal satu kota saja masih kesulitan untuk bertemu.
Tidak ada jawaban dari Cole. Pria itu sepertinya juga tidak bisa memastikan. Keduanya kembali menyantap makan malam masing-masing.
Kemudian Jenna kembali memulai obrolan. "Gue nggak tahu lo suka makan di tempat fancy kayak gini."
Cole menyanggah. "Tuntutan kerjaan. Klien lebih suka ketemu di tempat kayak gini."
"Oh, ya mister pengacara terkenal," cibir Jenna sambil memasukan makanan ke mulut.
Begitu keduanya sedang berbincang, alunan piano lembut terdengar dari sudut ruangan. Jenna seperti mengenali lagunya.
Cepat-cepat Jenna mencari sumber suara. Benar saja, Iris sedang memainkan piano. Lagu yang sering Jenna dengar di rumahnya. Bahkan saat tengah malam. Iris memang sangat gigih.
"Oh my God! Itu Iris!" seru Jenna antusias. "Harusnya hari ini bukan jadwal dia tampil?" tanyanya bingung.
Jenna lalu memikirkan sesuatu. Ia mendelik. Menatap kakaknya dengan tatapan mengintrogasi. "Jangan-jangan lo sengaja ajak gue ke sini karena tahu Iris bakal ada di sini? Naksir sama Iris ya lo?!"
Tiba-tiba saja Cole seperti kebingungan. Namun ia berkata dengan tegas. "Enggak lah!" kilahnya. "Beberapa hari lalu gue ketemu klien di sini dan nggak sengaja liat dia. But I genuinely like this place. The food and the ambiance are good."
"Awas ya kalau lo ganggu Iris," ancam Jenna. "Dia tuh udah sebel banget sama lo karena jaman sekolah lo suka bully dia. Jangan sampai dia ikut sebel juga sama gue karena gue adik lo."
Cole memprotes lagi. "Siapa yang mau ganggu Iris sih?! Sana deh lo samperin aja dia. Pening kepala gue denger ocehan lo."
Jenna menggerutu merespon omelan kakaknya. Begitu Iris selesai dengan pekerjaannya, Jenna menghampiri sahabatnya dan memprotes. "Tumben lo main pas weekday. Biasanya cuma akhir pekan aja?"
"Iya. Gue gantiin jadwal rekan di sini," ujar Iris. Ia kemudian bertanya. "Lo ke sini sama siapa? Kane?"
Sontak saja Jenna memutar bola matanya dan mendengus. "Gue udah dua minggu berusaha nggak mikirin dia tapi lo malah sebut namanya!" protes Jenna. "Gue sama Cole."
KAMU SEDANG MEMBACA
Loathe You | BOOK 1 | TERBIT ✔️
Romance[LIMA CHAPTER TERAKHIR DIHAPUS UNTUK PROSES PENERBITAN] Hampir lulus kuliah, Jenna Lim hanya ingin segera punya pekerjaan agar tetap bisa menetap di New York. Dia kemudian mendapat pekerjaan sebagai anak magang di kantor milik Kane Hayes atas rekome...