Keadaan kelas mulai ramai lagi. Ada beberapa siswa cowok bolos sekolah. Kepala sekolah dan wali kelas mulai mencari mereka.
"Siapa tadi yang lihat anak-anak itu bolos?" Pak Firman sebagai kepala sekolah sudah sangat jegah mendengar anak kelas A ini ada yang bolos. Sudah ke tiga kalinya mereka melakukannya.
"Ayo anak-anak, tolong jawab yang jujur. Bapak sudah kecolongan untuk yang ketiga kalinya." Pak Tri, wali kelasku ini ikut bersuara.
Semua pada diam tidak ada yang berani berbicara. Mungkin karena salah satu dari mereka adalah ketua geng yang ditakuti sekaligus anak dari salah satu donatur sekolah ini. Namun aku tidak bisa membiarkan kejadian ini terulang lagi walau baru satu kali aku melihatnya secara langsung.
"Mohon maaf Pak Tri dan Pak Firman." Aku membuka suara untukemecah keheningan di kelas.
"Iya Aeni, ada apa?" Pak Tri mendekat ke arahku.
"Mohon maaf sebelumnya. Tadi saya melihat Agung, Susanto, Mukhlis, Anggiat manjat jendela itu lalu pergi ke halaman belakang sekolah Pak. Maaf, ini pertama kali saya lihat untuk yang kemarin kurang tahu bagaimana mereka bolosnya." Aku dengan berani menjelaskan apa yang terjadi tadi. Walaupun tadi mereka sudah berpesan agar tidak ada yang melapor ke guru. Tapi hatiku bergejolak. Mereka sudah sering kali membolos dengan alasan beraneka rupa.
"Baiklah. Terimakasih Aeni. Besok bapak akan panggil mereka berempat." Pak Firman dan Pak Tri pamit untuk ke kantor.
Dikelas sudah banyak yang berbisik-bisik tentang tindakanku tadi. Masa bodo jika besok aku jadi sasaran kemarahanereka berempat. Biar mereka tahu bagaimana susah payahnya orangtuanya membiayai sekolah, malah mereka bolos.
***
Tegar Pratama, dia adalah sahabatku. Nasib kami sebelas dua belas. Kami masuk sekolah ini sama-sama dari jalur beasiswa. Aku dari putri dan Tegar dari putra. Kita berdua anaknya humble dan supel. Jadi semua guru sangat sayang kita berdua.Tegar ini juga anak pertama, hobi kami sama. Membaca. Cita-citanya ingin kuliah di kampus ternama kota gudeg, Jogjakarta yaitu Universitas Gajah Mada atau biasa orang bilang UGM. Dia pengen mengambil jurusan Menejemen Bisnis, sepertinya anak ini mau jadi orang kantoran. Makanya kami harus gigih mempertahankan juara kelas pararel di kelas kami masing-masing.
"Gar, kamu nggak makan siang?" Aku mendekati tegar yang sedang duduk di bawah pohon publik merah. Halaman samping sekolah ini cukup luas dan banyak tanaman tumbuh subur dan tertata rapi oleh tukang kebun sekolah.
"Eh, Ndak En. Kebetulan aku puasa hari ini." Tegar sedikit kaget dengan kedatanganku karena baru fokus membaca majalah tentang bisnis.
"Oh, gitu. Anak Sholeh rajin bener puasa Senin Kamis." Selorohku lalu ikut duduk di bawah pohon tak jauh dari tegar duduk.
"Kamu bisa aja." Tegar kembali pada majalah di genggamannya. Seperti biasa, anak itu akan mencari peluang usaha apa yang disukai oleh anak-anak muda jaman sekarang. Akupun hanya melongok sebentar lalu mengeluarkan beberapa formulir pendaftaran untuk lomba.
Angin sepoi-sepoi datang mengibarkan ujung jilbabku. Kertas yang aku pegang pun tak luput dari hembusannya. Siang ini cuaca tidak terlalu menyengat seperti beberapa hari lalu. Kulihat sekeliling teman-teman masih hilir mudik ke kantin untuk sekedar jajan snack ataupun nongkrong sambil bersenda gurau.
"En, katanya kamu yang melapor jika Susanto CS kabur lagi lewat jendela ya?" Suara Tegar memecah kesunyian.
"Hmm." Aku menanggapinya dengan gumaman. Yang diangguki olehnya.
"Good job. Semoga mereka sadar. Tapi kalau nanti mereka menyerangmu, bilang sama aku. Sudah lama juga aku nggak berantem."
Seketika aku menatap penuh tanya pada Tegar. Memang anak satu ini penuh dengan misteri gunung berapi. Eh bukan, maksudnya banyak yang belum aku tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMUS CITA-CITA
ChickLitFani Nugraeni berhasil mengalahkan beberapa siswa pintar yang mendapatkan beasiswa ke sekolah itu. Karena hanya satu murid putra dan satu murid Putri untuk setiap sekolahan favorit. Setelah beberapa bulan mengikuti pelajaran, mulai terjadi kesenjang...