Bab 2 • Cakrawala Senja

17 12 2
                                    


BANTU VOTE SAMA COMMENT YAA~
------------------------

Minggu-minggu berlalu, dan aku, Devandra Elano, merasa mulai menemukan ritme baru di SMA Cendrawasih. Proyek majalah sekolah yang aku ikuti sebagai penulis utama telah menjadi bagian penting dalam hidupku, meskipun tetap terasa menegangkan. Setiap hari aku berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan menulis dan interaksi sosial yang semakin intens.

Suatu sore, di tengah kesibukan perpustakaan dan taman belakang, aku akhirnya menyelesaikan naskah ceritaku untuk majalah. Cerita berjudul Cakrawala Senja itu berputar di sekitar tema "Setiap malam yang dilewati, selalu diiringi dengan janji akan hadirnya pagi." Tema ini terasa sangat dekat dengan perasaanku sendiri-sebuah refleksi tentang harapan dan pencarian jati diri yang tak pernah berhenti.

Selama berhari-hari, aku menyusun kata-kata, mencoba mengungkapkan perjalanan karakter utama dalam cerita. Dengan setiap kalimat yang kutulis, aku merasa seolah-olah aku mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam tentang diriku sendiri. Setiap malam yang kuhabiskan menulis di bawah lampu meja, aku mengingatkan diriku bahwa pagi akan datang, terlepas dari seberapa gelap malam yang kuhadapi.

Kegiatan di English Club semakin intens menjelang hari peluncuran majalah. Aku merasa ada sedikit kecemasan, tetapi juga kegembiraan yang menyertainya. Dalam pertemuan terakhir, Ario memutuskan untuk memeriksa semua konten sebelum dicetak.

Saat Ario memanggil namaku di tengah pertemuan, jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya. "Devandra, aku ingin membahas ceritamu," katanya, sambil melihatku dengan tatapan serius. Semua mata di ruangan tertuju padaku. Aku mengangguk pelan, berusaha menenangkan diri.

Ario memulai diskusi dengan menjelaskan bagaimana Cakrawala Senja akan menjadi salah satu cerita unggulan di majalah. Aku merasa campur aduk antara bangga dan cemas. Bangga karena ceritaku dihargai, tetapi cemas karena itu berarti perhatian lebih besar dariku.

Hari peluncuran tiba. Seluruh klub berkumpul di aula untuk melihat hasil akhir majalah. Aku berdiri di belakang, bersama Celine dan Laras, menunggu dengan penuh harap. Ketika Ario memulai pidato, aku merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diriku.

"Dan sekarang, mari kita beri tepuk tangan untuk Devandra Elano, penulis utama untuk bagian fiksi kita!" kata Ario dengan penuh semangat.

Suasana ruangan menjadi sorotan, dan aku merasa semua mata tertuju padaku. Rasa canggung yang biasa kuhadapi terasa semakin ringan dengan dukungan teman-temanku. Aku hanya bisa mengangguk pelan dan tersenyum, merasakan kebanggaan yang menyelimuti hati.

Dengan majalah Cakrawala Senja di tanganku, aku melihat hasil kerja keras kami. Cerita itu bukan hanya tentang karakter di dalamnya, tapi juga tentang perjalanan pribadiku. Malam yang gelap selalu akan diiringi dengan janji akan hadirnya pagi-sebuah pengingat bahwa setiap tantangan membawa harapan baru di ujung jalan.

Di akhir hari, saat melihat majalah yang sudah dicetak, aku merasa ada perubahan dalam diriku. Aku masih seorang introvert yang lebih memilih untuk mendengarkan daripada berbicara, tetapi aku juga telah belajar untuk menghadapi ketidakpastian dan membuat langkah-langkah kecil menuju perubahan. Setiap halaman majalah ini mewakili bagian dari perjalananku, dan aku tahu, meskipun malam kadang terasa panjang, pagi akan selalu datang membawa cahaya baru.

•••

Setelah peluncuran Cakrawala Senja, aku merasa sedikit lebih percaya diri. Proyek itu memberi aku rasa pencapaian yang menyenangkan, meski ketidaknyamanan dan kegugupan tetap ada. Setiap hari di sekolah terasa seperti langkah baru yang harus kuhadapi, namun ada rasa kepuasan yang mengisi hari-hariku.

Pagi-pagi, aku masih menghabiskan waktu di taman belakang perpustakaan. Rutinitasku tetap sama: membaca buku dan menikmati ketenangan sebelum hari dimulai. Namun, kali ini aku merasa lebih tenang, seolah hari-hari yang berlalu membawa harapan baru.

Hari itu, saat aku sedang duduk di taman dengan buku di tangan, aku mendengar langkah mendekat. Aku mendongak dan melihat Laras Salsabila, salah satu teman yang sering kuajak diskusi di English Club. Wajahnya tampak cerah, dan dia membawa beberapa buku di tangannya.

"Dev, aku baru baca ceritamu di Cakrawala Senja. Itu keren banget!" ujarnya dengan semangat.

Aku merasa sedikit tersipu, "Terima kasih, Laras."

Dia duduk di sebelahku, meletakkan buku-bukunya di bangku. "Aku suka banget dengan tema yang kamu angkat. Tentang harapan dan pencarian jati diri, itu sangat dalam."

Aku hanya mengangguk, berusaha menyerap pujian itu. "Aku hanya mencoba menulis apa yang kurasakan," jawabku singkat.

Kami mulai berbincang tentang cerita dan tema dalam Cakrawala Senja. Laras banyak memberi umpan balik dan mengajukan pertanyaan mendalam tentang karakter dan plot. Percakapan ini terasa nyaman, lebih dari yang kuharapkan. Meski aku masih merasa sulit untuk berbicara panjang lebar, aku merasakan adanya kemajuan dalam berkomunikasi.

"Ngomong-ngomong, ada acara diskusi buku di klub literasi minggu depan. Aku pikir itu bisa jadi kesempatan bagus untuk kita berdiskusi lebih banyak. Kamu mau ikut?" tanya Laras.

Aku memikirkan tawaran itu sejenak. Diskusi buku adalah bagian dari kegiatan klub literasi yang aku ikuti, dan aku tahu itu akan melibatkan lebih banyak interaksi. Namun, aku merasa ada sesuatu yang menarik dari tawaran itu.

"Aku mau," jawabku akhirnya, meski suara hatiku sedikit bergetar. "Aku akan datang."

Hari diskusi buku pun tiba. Aula klub literasi dipenuhi dengan siswa-siswa yang antusias. Ketika aku tiba, aku melihat beberapa teman dan anggota klub sudah berkumpul. Laras menyambutku dengan senyum lebar, dan kami bergabung dalam kelompok diskusi.

Saat pertemuan dimulai, aku merasa cemas tapi juga bersemangat. Diskusi berlangsung dengan aktif, dan aku mendengarkan berbagai pandangan tentang buku-buku yang dibahas. Ketika giliran aku untuk berbicara tiba, aku merasa gugup. Namun, dengan dukungan Laras dan teman-teman, aku mencoba mengungkapkan pendapatku.

"Cakrawala Senja mengajarkan kita bahwa bahkan di tengah kegelapan, selalu ada harapan untuk hari baru. Ini bukan hanya tentang menghadapi kesulitan, tapi juga tentang menemukan arti dalam perjalanan kita," kataku dengan suara pelan, tapi yakin.

Beberapa teman mengangguk setuju, dan aku merasa ada rasa pemahaman yang lebih dalam. Diskusi ini bukan hanya tentang buku, tapi juga tentang berbagi pandangan dan pengalaman pribadi. Aku merasa semakin terhubung dengan teman-teman di klub literasi.

Di akhir hari, aku pulang dengan rasa puas dan bahagia. Meski aku masih seorang introvert yang lebih memilih untuk mendengarkan, aku mulai merasakan manfaat dari berbagi dan berinteraksi lebih dalam. Cakrawala Senja bukan hanya cerita yang kutulis, tetapi juga simbol perjalanan pribadiku menuju pemahaman diri dan harapan.

Aku tahu, meskipun perjalanan ini penuh dengan tantangan dan ketidakpastian, setiap langkah kecil membawa arti yang besar. Setiap malam yang gelap akan selalu diiringi dengan janji akan hadirnya pagi-sebuah pengingat bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada harapan untuk hari yang lebih baik.

Cakrawala Senja - #ONGOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang