Bab 3 • Memahami Bayang Bayang

14 11 1
                                    


BANTU VOTE SAMA COMMENT YAA~
------------------------

Hari-hari di SMA Cendrawasih semakin terasa penuh warna. Dengan pengalaman dari peluncuran majalah dan diskusi buku, aku merasa mulai menemukan tempatku di lingkungan ini. Meskipun masih merasa canggung dalam interaksi sosial, aku merasakan kemajuan yang signifikan dalam kepercayaan diriku.

•••

Hari Senin pagi, aku tiba lebih awal di sekolah. Seperti biasa, aku menghabiskan waktu di taman belakang perpustakaan, menikmati ketenangan sebelum aktivitas dimulai. Hari itu, suasana taman terasa sedikit berbeda-ada rasa antisipasi yang mengambang di udara.

Ketika aku sedang duduk dengan buku di tangan, aku melihat Ario mendekat. Wajahnya tampak serius, dan dia membawa beberapa dokumen di tangannya. "Devandra, bisa kita bicara sebentar?" tanyanya.

Aku mengangguk dan menutup bukuku. "Tentu."

Kami berjalan menuju area yang lebih tenang di taman, dan Ario mulai berbicara. "Aku ingin membahas tentang proyek selanjutnya. Kita berencana mengadakan workshop menulis dan diskusi terbuka untuk siswa yang tertarik dengan literasi. Aku ingin kamu menjadi salah satu pembicara."

Aku terkejut mendengar tawaran itu. Selama ini, aku merasa lebih nyaman berada di belakang layar, bukan di depan orang banyak. "Kenapa aku?" tanyaku dengan suara pelan.

Ario tersenyum. "Karena aku melihat potensi dan kemajuan yang besar dalam dirimu. Kamu memiliki perspektif yang unik, dan pengalamanmu dalam menulis untuk Cakrawala Senja bisa memberikan inspirasi bagi siswa lainnya."

Aku merasa terharu oleh kata-katanya, tetapi juga cemas. Berbicara di depan umum adalah sesuatu yang sangat menantang bagiku. "Aku belum pernah berbicara di depan banyak orang sebelumnya. Aku... aku takut."

Ario menatapku dengan penuh pengertian. "Aku paham. Tapi aku yakin kamu bisa. Ini adalah kesempatan untuk berbagi pengalaman dan membantu orang lain melihat dunia dari sudut pandangmu."

Aku merenungkan kata-katanya. Meskipun rasa takut masih ada, aku juga merasa ada dorongan untuk menerima tantangan ini. "Oke, aku akan mencoba," jawabku akhirnya.

•••

Persiapan untuk workshop menulis berjalan intens. Aku mulai menyusun materi dan berlatih berbicara di depan cermin. Setiap malam, aku berlatih dengan tekun, berusaha mengatasi kecemasan dan merencanakan apa yang ingin kusampaikan.

Hari workshop tiba. Aula klub literasi dipenuhi dengan siswa-siswa yang antusias. Aku berdiri di belakang panggung, merasakan jantungku berdegup kencang. Laras dan Celine menyemangatiku dari barisan depan, dan Ario memberikan dorongan terakhir sebelum aku naik ke panggung.

Ketika aku mulai berbicara, suaraku sedikit bergetar. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa lebih nyaman. Aku berbagi tentang proses menulis Cakrawala Senja, tantangan yang kuhadapi, dan bagaimana menemukan inspirasi di tengah kegelapan. Aku juga membuka sesi tanya jawab, memberikan kesempatan kepada siswa-siswa untuk bertanya dan berdiskusi.

Selama workshop, aku merasa ada sesuatu yang berubah di dalam diriku. Meskipun aku masih introvert, berbicara di depan orang banyak mulai terasa lebih alami. Aku mulai menikmati interaksi dan berbagi pengalaman dengan orang lain.

Di akhir sesi, aku merasa puas dengan apa yang telah kujalani. Teman-teman dan peserta workshop memberiku umpan balik positif, dan aku merasa bangga bisa melewati tantangan ini.

•••

Hari-hari setelah workshop terasa lebih cerah. Aku mulai merasa lebih percaya diri dalam interaksi sosial dan lebih terbuka terhadap peluang baru. Pengalaman berbicara di depan umum telah memberiku wawasan baru tentang diriku sendiri.

Cakrawala Senja - #ONGOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang