Bab 10 • Hari yang Biasa

1 0 0
                                    

Pagi Senin datang dengan cepat, mengakhiri akhir pekan yang cukup menenangkan. Aku terbangun dengan rasa malas yang biasa, tapi juga dengan sedikit rasa lega karena akhir pekan itu memberiku waktu untuk merenung dan bersiap menghadapi minggu baru.

Setelah rutinitas pagi yang sederhana, aku berangkat ke sekolah. Jalanan masih sama—sunyi dan sedikit dingin. Suasana ini entah bagaimana memberi rasa nyaman, seperti pelukan tak terlihat yang selalu menemaniku di setiap perjalanan.

Setibanya di sekolah, aku langsung menuju kelas. Seperti biasa, aku tiba lebih awal dari yang lain. Ini memberi waktu untuk duduk sejenak, menikmati keheningan sebelum hari dimulai. Sesekali aku melirik ke pintu kelas, menunggu Laras atau Celine datang. Mereka adalah satu-satunya orang yang aku nantikan di pagi hari.

Ketika Laras akhirnya datang, dia menyapaku dengan senyum yang lebar, seperti biasa. Aku hanya mengangguk kecil sebagai balasan. Dia duduk di sebelahku, bercerita tentang sesuatu yang tidak terlalu kuperhatikan, tapi aku tetap mendengarkan dengan setengah hati, memberikan senyuman tipis saat dibutuhkan.

Kelas dimulai dengan pelajaran matematika. Guru menjelaskan materi yang, bagi sebagian besar murid, terasa sulit. Tapi aku bisa mengikuti tanpa banyak usaha. Fokusku terpecah antara memperhatikan papan tulis dan memikirkan hal-hal lain yang melintas di kepala. Pagi ini, pikiranku terasa lebih tenang dari biasanya, mungkin efek dari akhir pekan yang tenang.

Saat istirahat tiba, aku bergabung dengan Laras dan Celine di kantin. Kami duduk di meja yang biasa, memesan makanan yang sama seperti minggu lalu. Celine tampak lebih ceria hari ini, mungkin karena dia merasa akhir pekan kemarin sukses membuatku lebih terbuka. Dia bercerita panjang lebar tentang rencana kegiatan minggu ini, sementara aku mendengarkan dengan setengah perhatian, memberikan tanggapan yang singkat di sela-sela ceritanya.

“Jadi, Dev, bagaimana akhir pekanmu?” tanya Laras tiba-tiba, memecah lamunanku.

Aku menatapnya sebentar sebelum menjawab dengan nada datar, “Lumayan. Aku sempat jalan-jalan sedikit.”

Celine tersenyum puas. “Baguslah kalau kamu menikmati waktu luangmu. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”

Aku hanya mengangguk pelan, tidak ingin memperpanjang percakapan. Mereka berdua sudah cukup tahu bahwa aku bukan orang yang banyak bicara. Tapi aku tahu, di balik tanggapan singkatku, mereka bisa merasakan bahwa aku menghargai perhatian mereka.

Sisa hari berlalu dengan cepat. Pelajaran demi pelajaran, waktu terasa berjalan begitu saja. Aku tidak terlalu fokus pada apa yang terjadi di sekitarku, hanya mengikuti arus tanpa banyak berpikir. Hanya saat-saat tertentu aku menyadari bahwa aku masih di sini, menjalani hari yang biasa seperti biasanya.

Saat bel pulang berbunyi, aku membereskan barang-barangku dan bersiap untuk pulang. Laras dan Celine mengajakku untuk mampir ke toko buku di dekat sekolah, tapi aku menolak dengan alasan ingin langsung pulang. Mereka tidak memaksa, hanya mengingatkan bahwa mereka selalu ada jika aku butuh teman.

Aku meninggalkan sekolah dengan perasaan yang tenang, berjalan pulang di bawah langit yang mulai mendung. Sesekali aku menarik napas dalam-dalam, menikmati udara dingin yang menyentuh wajahku. Aku tahu, hari ini mungkin tidak membawa perubahan besar, tapi kadang-kadang, hari yang biasa-biasa saja juga bisa memberi kenyamanan yang tak terduga.

Setibanya di rumah, aku langsung menuju kamar. Aku duduk di depan meja belajar, menatap buku-buku yang berjejer rapi. Malam ini, mungkin aku akan menulis lagi. Tidak ada cerita besar atau pikiran yang mendesak, hanya ingin menuliskan apa yang ada di kepalaku—sebuah rutinitas yang selalu membantuku merasa lebih ringan.

Aku menyalakan lampu meja, meraih pena, dan mulai menulis. Kata demi kata mengalir dengan tenang, menggambarkan hari yang biasa ini. Meski tidak banyak yang terjadi, menulis tetap memberi kepuasan kecil yang sulit dijelaskan. Setidaknya, aku tahu bahwa meskipun aku tidak selalu berbicara banyak, aku masih punya cara untuk mengekspresikan diri.

Malam itu, setelah menulis beberapa halaman, aku menutup buku catatan dan bersiap untuk tidur. Aku tahu, besok akan menjadi hari yang lain, mungkin sama seperti hari ini. Tapi tidak apa-apa, karena kadang-kadang, hari yang biasa saja sudah cukup. Aku mematikan lampu meja, berbaring di tempat tidur, dan membiarkan keheningan malam membawaku ke dalam tidur yang tenang.

•••

Keesokan paginya, rutinitas yang sama kembali terulang. Aku bangun dari tidur, merapikan tempat tidurku, dan menyiapkan diriku untuk hari yang baru. Pagi ini tidak jauh berbeda dari kemarin—suara burung yang bercicit di luar jendela, aroma roti panggang dari dapur, dan langit yang masih berwarna kelabu. Hanya ada sedikit perbedaan; mungkin karena pikiranku sedikit lebih terbuka hari ini.

Di sekolah, suasana kelas seperti biasa—sedikit riuh dengan percakapan ringan di antara teman-teman sekelas. Laras dan Celine sudah menunggu di tempat biasa. Aku menyapa mereka dengan anggukan kecil saat duduk di kursiku. Kali ini, aku merasa sedikit lebih mudah untuk mendengarkan obrolan mereka, meskipun aku masih memilih untuk lebih banyak mendengar daripada bicara.

Pelajaran hari ini cukup menantang, terutama saat guru memberikan tugas kelompok. Aku, yang biasanya lebih suka bekerja sendiri, kali ini terpaksa harus bekerja sama dengan beberapa teman sekelas. Aku bisa merasakan sedikit kecemasan menyelip dalam pikiranku, tapi aku mencoba untuk tetap tenang.

Selama diskusi, aku lebih banyak mengamati. Sesekali aku mengeluarkan pendapat singkat ketika diperlukan, meskipun aku tahu bahwa tanggapanku tidak banyak mempengaruhi diskusi. Di dalam hati, aku merasa sedikit terpinggirkan, tapi aku berusaha untuk tidak terlalu mempermasalahkannya. Lagi pula, aku sudah terbiasa dengan perasaan ini.

Ketika waktu istirahat tiba, aku kembali bersama Laras dan Celine ke kantin. Kali ini, mereka lebih banyak bercerita tentang rencana kegiatan klub yang sedang mereka ikuti. Aku mendengarkan dengan seksama, meskipun sekali lagi, aku hanya memberikan tanggapan singkat ketika ditanya. Aku menghargai usaha mereka untuk melibatkanku dalam percakapan, meskipun aku tahu, aku tidak selalu mudah untuk didekati.

Sepulang sekolah, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sebelum pulang. Rasanya aku butuh sedikit udara segar untuk menenangkan pikiran. Aku berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakiku membawa ke mana saja. Jalanan sore itu cukup sepi, hanya suara langkah kakiku yang terdengar jelas.

Ketika langit mulai berubah warna, aku menyadari bahwa sudah saatnya untuk pulang. Aku berjalan pulang dengan langkah pelan, menikmati setiap detik yang berlalu. Hari ini mungkin tidak terlalu berbeda dari hari-hari sebelumnya, tapi entah kenapa, ada perasaan hangat yang tersisa di hatiku. Mungkin karena, meski dalam kesederhanaan hari-hariku, aku merasa sedikit lebih dekat dengan diriku sendiri.

Malam itu, sebelum tidur, aku duduk lagi di depan meja belajarku. Aku membuka buku catatan, menuliskan beberapa pemikiran yang terlintas di kepala. Kata-kata mengalir dengan lebih mudah kali ini, seolah-olah ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam diriku. Aku menulis hingga aku merasa lega, kemudian menutup buku catatan itu dengan perasaan tenang.

Aku mematikan lampu, berbaring di tempat tidur, dan menutup mataku. Hari ini mungkin bukan hari yang besar atau istimewa, tapi itu cukup bagiku. Aku tahu, besok akan datang dengan rutinitas yang sama, tapi aku mulai menyadari bahwa mungkin, dalam kesederhanaan itu, ada keindahan yang tersembunyi. Dan dengan pikiran itu, aku perlahan-lahan tertidur, siap untuk menghadapi hari lain yang mungkin sama, tapi tetap berarti.

Cakrawala Senja - #ONGOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang