BAB 36 : Masalah Naksatra

25 7 1
                                    

"Satra, lo gak ada maksud apa-apa, kan? Kenapa lo traktir kita sebanyak ini?" ujar Harsa ketika canda tawa mereka sedikit mereda. Memang, ketiga cowok itu sedang menertawakan hal-hal random, sambil meroasting orang-orang di sekitar kafe tanpa mempedulikan betapa “opet”-nya wajah mereka saat tertawa lepas.

Ngaca, bor, ngaca!

Di tengah riuhnya suasana kafe yang dihiasi obrolan dan denting gelas, Rafi dan Naksatra tiba-tiba berhenti tertawa. Bentala, yang juga tertarik dengan percakapan itu, menoleh ke arah mereka dan menaruh ponselnya ke atas meja setelah membalas pesan dari kekasihnya.

"Iya, Tra. Lo gak ada maksud apa-apa, kan?" tanya Rafi ulang, tatapannya penuh rasa ingin tahu. Dia sadar, dari banyaknya pesanan di meja mereka, sebagian besar adalah pesanannya. Rafi sendiri bahkan tidak mempertimbangkan apakah kartu ATM Naksatra akan habis atau tidak.

Tidak tahu diri memang!

Namun, Naksatra bersikap cuek, meskipun uangnya bisa saja habis. Sikapnya ini membuat teman-temannya sedikit heran, terutama karena hingga kini, cowok keturunan Arab itu belum memberitahu maksud dari traktir besar-besaran ini.

"Eum..." Naksatra menggaruk lehernya, tanda sedikit rasa gugup. "Sebenernya... Gue mau minta bantuan sama kalian."

"Udah gue duga. Gak mungkin Satra traktir sebanyak ini tanpa ada maksud. Apalagi ini kafe lumayan mahal," ucap Rafi sambil menyandarkan punggungnya ke bangku, suaranya sedikit melembut, seakan ingin menyelidiki lebih lanjut.

Popolo Caffee, tempat mereka duduk, adalah kafe terbaik di kota Bogor. Ruangannya didekorasi dengan gaya minimalis namun mewah, menjadikannya tempat favorit anak muda untuk nongkrong. Namun, bagi Bentala, Harsa, dan Rafi, kafe ini cukup mahal dengan harga-harga makanan dan minumannya yang di atas rata-rata. Rafi, yang awalnya memilih kafe ini, sebenarnya merasa tak enak, apalagi ia paling banyak pesan diantara mereka. Tapi, Naksatra tampak santai saja, jadi Rafi cancel rasa tak enaknya itu.

You have no shame!

"Apaan?" tanya Bentala penasaran, kedua alisnya terangkat.

"Gue gak mau dijodohin, plis... Gue gak tau cara nolaknya gimana. Bantu gue buat batalin ini semua," kata Naksatra, nadanya penuh tekanan. Ketiga temannya langsung terdiam, mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Naksatra.

"Di zaman modern kayak gini perjodohan masih berlaku?" ujar Bentala, matanya menyipit seolah tak percaya.

Naksatra menghela napas panjang, wajahnya sedikit tertunduk. "Buktinya gue masih dijodohin, Tal."

Miris. Kata yang digambarkan Naksatra pada dirinya sendiri.

Saat pertama kali ia mendengar tentang rencana perjodohan ini, rasanya ia ingin menghilang dari muka bumi. Kalau bisa, ia ingin menyewa planet Merkurius sebagai tempat tinggalnya untuk sementara. Tapi, ia tahu, menolak bukanlah pilihan mudah. Orang tuanya sangat kekeuh dengan perjodohan itu. Bahkan, Naksatra belum tahu siapa calon yang dipilihkan untuknya.

"Mending lo cari pacar aja deh, Tra. Biar ada alasan lo nolak," ujar Rafi dengan nada sedikit bercanda, namun ada rasa simpati di baliknya. Dia bisa melihat raut wajah Naksatra yang penuh tekanan.

"Iya, bener. Lo cari pacar terus kasih tahu kalau lo udah punya pacar dan lo lebih milih pacar lo dibanding cewek yang mau dijodohin sama lo itu," sambung Harsa, dengan senyum tipis di bibirnya.

"Itu terlalu klise gak sih?" Bentala yang sejak tadi hanya menyimak, akhirnya angkat bicara. Ia mengusap dagunya, menunjukkan bahwa ia tengah berpikir serius.

Rafi dan Harsa terdiam, keduanya memikirkan kata-kata Bentala yang masuk akal.

"Terus gimana?" tanya Naksatra, suaranya mengandung nada frustrasi. Dia merasa terjebak dalam situasi yang sulit.

The Ephemeral (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang