Into His Room

3.4K 18 1
                                    

Marsha sama sekali tidak terpikir harinya akan berakhir di sini. Sebuah unit apartemen yang hanya bertaut dua lantai dari unitnya sendiri. Duduk di sofa yang empuk dan nyaman ditemani segelas red wine paling enak menurutnya.

Oh ya, namanya Edmund van Vleuter. Ia meminta dipanggil Ed.

Meskipun lay out unit Ed sama dengan unitnya sendiri. Terasa sekali perbedaan dari segi interiornya. Di ruangan utama tempat dapur, ruang makan, dan living room jadi satu, dindingnya banyak dihiasi medali dari berbagai kompetisi renang.

Setelah mendengar cerita Ed, Marsha tidak lagi memandang pria itu sebagai pervert. Entah karena pengaruh alkohol atau karena Marsha ingin, kini ia bergelung dalam pelukan Ed di sofa abu-abu tua.

Ed adalah seorang atlet renang berkebangsaan Belanda. Mantan atlet lebih tepatnya. Sebab tanpa disangka Marsha, usia Ed sudah masuk kepala empat tahun ini. Fakta yang membuat Marsha tercengang karena secara tampilan fisik, jujur saja Ed masih layak dipertimbangkan berusia dua puluhan akhir.

Performa terbaiknya diwujudkan dalam medali perak Olimpiade Rio 2016. Meskipun "hanya" mendapatkan perak, tapi untuk atlet berusia 38 tahun saat itu mendapatkan medali warna apapun adalah hal yang luar biasa.

Saat ini ia sedang mengejar cita-citanya yang lain: gelar Master of Sport Science. Sebagai orang yang lahir di tengah-tengah keluarga akademisi, Ed memang suka belajar. Namun dulu ketika menjadi atlet, ia merasa kesulitan untuk membagi waktu antara sekolah lagi dan latihan.

"Wow ..." desis Marsha ketika mendengarkan cerita Ed.

Ed tergelak melihat mimik wajah Marsha. "I'm immensely sorry for anything that happened last night and today. But why you didn't scream or push me?"

Marsha tersentak. Itu adalah permintaan maaf Ed yang kesekian kali. Namun sesungguhnya itu juga menjadi pertanyaan untuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa dirinya berakhir berpelukan dengan Ed.

Apakah ini karena Ed sudah berjanji untuk tidak menyentuhnya tanpa seizin dirinya? Sehingga ia merasa aman saja dipeluk pria yang membuatnya terduduk lemas di lift semalam. Apalagi saat ini Marsha hanya memakai tank top pendek dengan belahan dada rendah dan hotpants yang memamerkan tindik berbentuk mermaid di pusarnya.

Marsha bangkit dari pelukan Ed. Ia menaruh gelasnya di meja. Lalu menatap Ed dalam-dalam.

"May I see that Olympian tattoo?" tanya Marsha merujuk pada salah satu foto Ed yang hanya memakai celana renang. Dalam foto itu terlihat Ed memiliki tato bergambar logo Olimpiade di pangkal paha kirinya.

Ed tergelak. "How do you know that?"

Sebelum mendapatkan jawaban, Ed mendapati Marsha berlutut di hadapannya. Tangannya dengan lihai membuka kancing celana Ed. Wajahnya sengaja didekatkan di antara paha pria itu. Senyumnya mengembang ketika ia melihat ujung tato itu.

"Fucking little bitch," gumam Ed. Ia mengangkat sedikit pinggulnya sehingga memudahkan Marsha untuk melepaskan celananya.

Telunjuk Marsha menelusuri tato bergambar lima lingkaran yang saling bertautan itu. Menyisirnya perlahan seolah itu adalah prasasti kuno yang harus ditelitinya di Museum. Namun satu hal yang membedakannya dengan prasasti, Marsha tidak pernah mengecup prasasti seperti ini.

Rangsangan yang diberikan Marsha membuat penis Ed otomatis mengeras. Dengan sengaja Marsha menempelkan pipinya ke penis Ed. Seolah ia sedang meneliti tato itu dari sisi lain. Jemarinya yang lain secara sengaja menurunkan boxer pria itu. Seolah boxer itu menghalangi pandangannya.

Begitu boxer itu dilepaskan, terlihat penis Ed mengacung. Belum berdiri tegak, namun ukurannya sudah membuat Marsha tercengang. Penis itu nyaris memiliki panjang yang sama dengan wajahnya.

"I think you have something more exciting than a tattoo ..." bisik Marsha.

Tanpa meminta persetujuan Ed, Marsha mengecup-ngecup penis Ed dari ujung hingga pangkal. Menjilat-jilat batang penis yang mengeras itu seolah-olah itu adalah popsicle. Mengulum ujung penis dalam mulutnya yang mungil. Sementara tangan kanannya sibuk meremas testis pria itu.

Dari bawah Marsha melirik Ed. Melihat bagaimama wajah pria itu. Rupanya Ed juga sedang melihatnya mengulum penis. Kedua tangan Ed lantas memegang kepala Marsha dan menggerakkan kepala Marsha naik turun. Memberikan rangsangan dahsyat untuk penisnya.

Marsha merasakan penis Ed semakin membesar dan uratnya mulai bermunculan. I swear to God, this is better than every dick and dildo I've ever taste, batinnya.

Marsha mengatupkan bibirnya, membuat penis Ed seperti sedang disedot dengan kuat. Sementara Ed memaksa Marsha untuk memasukkan seluruh penisnya ke mulut Marsha. Tentu saja mustahil mengingat panjang penis Ed yang tidak biasa.

Tiba-tiba Ed sengaja menahan kepala Marsha. Membuat wanita itu tersentak. Wajahnya memerah sebab jalur nafasnya ditutupi penis Ed. Air liurnya menetes di dagunya. Beberapa detik Ed menahan kepala Marsha kemudian melepaskannya.

Marsha mengatur nafasnya tersengal-sengal. Sementara Ed memukul-mukulkan penisnya yang basah ke wajah Marsha. Melumuri wajah wanita itu dengan air liur nya sendiri.

Tangan kanan Marsha mengambil alih penis Ed dan mengocoknya. Sementara bibirnya menuju pada testis Ed dan mengulumnya. Kuluman itu membuat Ed melayang menuju kenikmatan surgawi.

Marsha mengocok dan mengulum penis Ed semakin cepat. Membuat pria itu kesulitan menghadapi rangsangan dari Marsha. Sebelum penis itu mengeluarkan isinya, Ed memasukkan kembali penisnya ke mulut Marsha. Menggenjot mulut Marsha seakan sedang menyetubuhi vaginanya. Semakin cepat  hingga ....

Crott ... crott ... crott ...

"Arrhhh ... fucking good, bitch!" Ed melepaskan spermanya di dalam mulut Marsha.

Memaksa gadis itu menelan spermanya. Ia tersenyum penuh kemenangan ketika melihat mulut Marsha sudah kosong. Tangannya menekan kedua pipi Marsha. Membuat mulut Marsha terbuka.

Cuhh!

Ed meludahi mulut Marsha. Bukannya membuat Marsha marah, tindakan Ed justru membuat gairah Marsha semakin terbakar.

Marsha's Story - 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang