Sudah hampir sebulan Ed dan Marsha menjalin "hubungan" entah apa namanya. Kadang mereka bercinta di apartemen Ed, kadang di tempat Marsha. Masa-masa awal hubungan seperti ini memang menyenangkan. Honeymoon period.
Setiap hari Ed akan menemani Marsha berjalan menuju museum, lalu pergi ke pusat pelatihan atlet renang Belanda, dan sore harinya Ed akan menjemput Marsha. Setelahnya mereka akan makan malam bersama. Dan tentu saja menutup hari dengan bergelut di ranjang.
Saat akhir pekan, mereka akan menghabiskan waktu di apartemen atau pergi ke vila milik keluarga Ed untuk bercinta. Nafsu mereka berdua seolah tidak pernah surut. Setiap inci tubuh Marsha sangat menggiurkan bagi Ed. Begitu pula sebaliknya.
Hari ini Marsha mengutuk keputusan bodohnya untuk mengiyakan sebuah meeting dengan kolega dari Australia. Ia lupa perbedaan waktu yang signifikan antara Australia dan Amsterdam. Alhasil ia harus bangun pukul tiga pagi, mengumpulkan kesadaran yang masih tertinggal di kasur, dan berusaha menahan kantuk di depan laptop.
Marsha hanya mengenakan kemeja putih saja dan underwear di dalamnya. Rapat daring seperti ini cukup menguntungkan baginya. Ia hanya perlu tampak rapi setengah badan saja. Orang lain tidak akan tahu bahwa ia hanya memakai g-string berwarna hitam yang nyaris tidak menutup apa-apa.
Rapat dini hari itu berlangsung hingga pukul lima pagi. Sialnya Marsha tidak mengantuk lagi akibat menenggak satu cangkir double espresso. Ed masih tertidur di atas ranjangnya.
Marsha mengamati tubuh pria yang menyetubuhinya hampir setiap hari itu. Tubuh Ed yang tinggi besar seperti mayoritas orang Belanda itu tidak tertutup sehelai benang pun. Apartemen di Eropa rata-rata tidak memiliki AC karena dalam setahun, AC hanya digunakan maksimal tiga bulan saat musim panas saja. Dan Ed tidak suka memakai selimut saat musim panas.
Mata Marsha tertuju pada selangkangan Ed. Ia masih geli jika mengingat kejadian melihat tato Olympian itu demi sebuah seks yang dahsyat. She's never ever being cheesy like that. Penis Ed masih terkulai lemas. Meskipun begitu, dalam keadaan tidak ereksi pun bisa membuat hasrat Marsha bergejolak.
Pikirannya langsung berkelana saat penis itu menerobos liang vaginanya. Menghentak-hentak leher rahimnya. Menusuk-nusuk g-spot yang membuatnya melayang hingga ke langit ke tujuh. Menyemburkan sperma paling nikmat yang pernah ia rasakan.
Tanpa sadar, jari Marsha sudah menggesek-gesek vaginanya sendiri. Lendir vaginanya mulai membasahi celana dalamnya. Melihat jam yang menunjukkan pukul 06.30, Marsha memutuskan melepas celana dalamnya. Lalu ia naik ke atas kasur.
Perlahan, tanpa membangunkan Ed, Marsha mengangkangi wajah Ed. Hembusan nafas Ed menggelitik vagina Marsha yang sudah telanjang. Marsha mulai menurukan pinggangnya hingga ia merasakan labianya menyentuh ujung hidung Ed yang mancung. Dengan sengaja ia menggoyangkan pinggulnya. Gerakan itu tentu saja membuat Ed bangun.
Aroma vagina Marsha yang menjadi favorit Ed sebulan belakangan ini menusuk hidungnya dan membuatnya terbangung. Alih-alih marah, Ed justru dengan sigap merangkul paha Marsha. Menurunkannya hingga vagina perempuan itu bisa dengan leluasa Ed jilat.
Lidahnya membelah vagina berwarna pink itu. Menyentil-nyentil klitorisnya. Perlahan menusuk masuk dalam liang kenikmatannya yang lembut dan lembab. Sementara tangan Ed meremas pantat sintal Marsha. Jemarinya yang panjang menekan-nekan perineum - otot di antara vagina dan anus- yang membuat Marsha keenakan.
"Holy shit ... baby ... mmmhh ..." Marsha mendesah penuh kenikmatan.
Jujur saja, dibandingkan mantan-mantannya, Ed adalah orang yang paling bisa memuaskan hasrat seksnya. Tanpa diminta, Ed selalu senang melahap vagina Marsha dengan mulutnya. Sementara mantan-mantannya perlu disuruh dulu untuk melakukan oral seks.
"Cum on my face baby ..." ucap Ed sambil menghembuskan nafas hangat yang membuat Marsha semakin terangsang.
Marsha menggerak-gerakkan pinggulnya. Membuat klitorisnya berkali-kali terkena hidung Ed. Sementara tangannya merangsang putingnya sendiri; mencubit, memelintirnya. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela membuat bayangan indah di dinding. Siluet Marsha bercinta di wajah Ed jauh lebih indah daripada lukisan yang harus dikurasi Marsha untuk pameran bulan depan.
Ed melahap vagina Marsha. Menusuk-nusuknya dengan lidah panjangnya. Bibirnya menarik labia Marsha, membuat Marsha mengerang.
"I can't hold it baby ..." desah Marsha. Ia merasakan tubuhnya mulai menuju puncak orgasme.
Ed menggeser sedikit tubuh Marsha. Kemudian ia menggesek-gesek vagina Marsha yang sudah semakin basah. Semakin Marsha mendesah, semakin cepat Ed menggesek vagina itu. Sesekali Ed memukul klitoris Marsha hingga membuat jarak menuju puncak orgasme semakin dekat.
Tubuh seksi Marsha menggelinjang. Badannya disangga tangan Ed sehingga ia tidak bisa kemana-mana. Vaginanya mulai berkedut. Siap untuk memuncratkan cairan cintanya.
"Hhhh oohhh fuck baby .... mmmhhhh yesss yesss"
💦💦💦💦💦💦
"SHIIIIITTTTT" Marsha melenguh ketika squirtnya menyembur dan membasahi wajah Ed.Sementara Ed justru tersenyum bangga. Ia menjilat-jilat vagina Marsha yang baru saja memuntahkan cairan kenikmatakannya. Menelan lendir-lendir kekasihnya itu. Menyesapnya hingga vagina Marsha bersih.
Hanya dengan Ed, Marsha bisa merasakan kepuasan secara utuh. Hanya Ed yang memikirkan kepuasannya, tidak hanya kepuasan Ed sendiri. Hanya Ed dan hanya Ed ....
Yang mampu membuat dirinya bertanya-tanya tentang perbedaan cinta dan nafsu. Apakah ini cinta atau hanya nafsu saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Marsha's Story - 21+
Romance21+ Risk at your own Marsha memulai hidup barunya di Amsterdam sebagai kurator lukisan di museum. Lembaran baru itu terpaksa dibaliknya usai video syur yang direkam mantan pacarnya disebarkan melalui internet. Marsha kehilangan segalanya; karir, kel...