Terjebak, itu adalah sesuatu yang pasti akan terjadi sekarang. Aku tak tahu akan dibawa ke mana lagi oleh kenanganku ini. Setelah menyelam ke dalam memori masa SMA yang penuh rasa, aku merasa seperti seorang pelancong yang tersesat dalam labirin waktu, tak ada jalan keluar dan tak ada arah yang pasti. Namun, sebelum aku sempat mengumpulkan pikiranku, dunia di sekitarku mulai berubah lagi.
Perlahan-lahan, lorong sekolah yang tadi penuh dengan siswa-siswa yang berlalu lalang mulai memudar. Suara langkah kaki dan tawa yang menggema di dinding-dinding lorong mulai meredup, digantikan oleh keheningan yang menakutkan. Aku merasa bumi di bawahku bergetar, seolah-olah sesuatu yang besar sedang mendekat.
Sekejap kemudian, aku mendapati diriku berdiri di sebuah ruangan yang lain, ruangan yang sudah begitu familiar, namun tetap saja terasa asing. Aku berada di kamar tidurku yang lama—kamar di mana aku menghabiskan sebagian besar masa remajaku, merenung tentang dunia dan menghabiskan malam-malam panjang dalam keheningan. Tempat ini adalah saksi bisu dari semua kekhawatiranku, ketakutanku, dan tentu saja, cintaku yang tak terbalas.
Kamar ini masih sama seperti yang kuingat. Dindingnya dihiasi oleh poster-poster band favoritku, buku-buku yang menumpuk di rak kayu tua, dan meja belajar yang dipenuhi oleh catatan-catatan penuh coretan. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Aku tidak lagi merasa nyaman seperti dulu, seolah-olah tempat ini bukan lagi milikku, melainkan penjara yang menahanku dalam putaran waktu yang tak berujung.
Aku mendekati meja belajar itu, melihat sebuah buku harian yang tergeletak di atasnya. Aku tahu buku itu sangat baik—itu adalah tempat di mana aku menyimpan semua rahasia, perasaan, dan mimpi-mimpiku yang terdalam. Dengan tangan yang gemetar, aku membuka buku harian tersebut. Halaman demi halaman terisi dengan tulisan-tulisan masa lalu, mencatat hari-hari yang penuh dengan rasa cemas dan harapan.
Dan di sana, di salah satu halaman yang paling sering kubaca ulang, adalah catatan tentang hari di mana aku pertama kali menyadari perasaanku pada Sarah. Kata-kata yang kutulis dengan hati-hati waktu itu terasa begitu mentah dan jujur. Aku bisa merasakan semua emosi yang kuabadikan dalam tulisan itu, seolah-olah waktu tidak pernah benar-benar berlalu.
"Sarah," tulisanku berbunyi, "Aku tak tahu bagaimana bisa seorang seperti dia bisa begitu mempengaruhiku. Hanya dengan satu senyuman, dia mampu membuatku merasa seperti dunia ini berhenti sejenak. Tapi aku tak punya keberanian untuk mengatakannya. Bagaimana jika dia menolakku? Bagaimana jika dia melihatku hanya sebagai teman biasa?"
Aku menutup buku harian itu dengan cepat, seolah-olah menutup buku bisa mengusir semua rasa sakit yang muncul kembali. Tapi kenyataannya, semua itu masih ada di sana, menempel di hatiku seperti bekas luka yang tak pernah sembuh. Aku merasa terjebak dalam ingatan yang tak kunjung pudar, dalam perasaan yang tak pernah berakhir.
Di saat itulah, aku mendengar suara yang tak asing lagi di telingaku. Sebuah panggilan dari masa lalu, panggilan dari seorang sahabat yang selalu ada untukku saat-saat sulit, meskipun aku tidak selalu menyadarinya. Aku berbalik dan melihatnya—Andrew, sahabatku sejak kecil, berdiri di pintu kamar.
"Kenapa kau di sini?" tanyaku, bingung dengan kehadirannya di dalam kenanganku ini.
Andrew tersenyum dengan cara yang selalu ia lakukan, senyum yang penuh kehangatan dan pengertian. "Aku di sini karena kau membutuhkanku," jawabnya dengan tenang. "Kau tak bisa terus terjebak dalam kenangan ini, kau harus melanjutkan hidupmu."
"Aku tidak tahu bagaimana caranya," kataku, suaraku bergetar dengan emosi yang menahan. "Setiap kali aku mencoba maju, aku selalu teringat pada masa lalu. Pada semua hal yang aku lewatkan, pada semua kesempatan yang tak pernah kumiliki."
Andrew melangkah masuk ke dalam kamar, mendekat padaku. "Kau harus belajar untuk melepaskan," katanya lembut. "Kenangan-kenangan ini akan selalu ada, tapi itu tidak berarti kau harus terus terjebak di dalamnya. Sarah adalah bagian dari masa lalumu, tapi masa depanmu masih terbuka luas."
Aku ingin percaya pada kata-katanya, tapi rasa takut dan penyesalan yang telah lama kupendam membuatku ragu. Bagaimana bisa aku melanjutkan hidup jika bayang-bayang masa lalu terus menghantuiku? Bagaimana bisa aku melepaskan sesuatu yang telah menjadi bagian dari diriku selama ini?
Andrew meletakkan tangannya di bahuku, memberi dukungan yang diam-diam aku rindukan. "Ini bukan tentang melupakan, ini tentang menerima," katanya dengan bijak. "Kenangan-kenangan ini adalah bagian dari dirimu, tapi mereka bukanlah segalanya. Kau harus memberi dirimu izin untuk melangkah maju, untuk menemukan kebahagiaan di luar semua ini."
Aku terdiam, merenungkan kata-kata sahabatku. Mungkin benar, mungkin aku harus belajar menerima bahwa masa lalu adalah sesuatu yang tak bisa kuubah, tapi masa depanku masih bisa aku tentukan. Namun, jalan menuju ke sana terasa begitu sulit, seolah-olah aku harus mendaki gunung yang sangat tinggi.
Namun, dalam keheningan itu, aku merasa ada secercah harapan. Mungkin ini adalah awal dari perjalanan panjangku untuk melepaskan diri dari penjara kenangan, untuk menemukan diriku yang baru. Dengan dukungan Andrew dan mungkin beberapa orang lainnya yang akan kutemui di sepanjang jalan, aku bisa mulai melangkah maju—perlahan, tapi pasti.
Dan dengan itu, dunia di sekitarku mulai berubah lagi, membawaku ke bagian lain dari kenanganku, mungkin kali ini menuju titik di mana aku bisa benar-benar memulai perjalanan untuk melepaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
2 Minutes
PoetrySebuah cerita mengatakan bahwa kenangan terbaik di dalam kehidupan diputar pada 2 menit sebelum kematian. Tetapi, apakah itu benar-benar hanya 2 menit?