Aku tersentak bangun di lantai dingin lorong sekolah yang telah menghantuiku selama ini. Seluruh tubuhku bergetar, dan untuk sesaat, aku mengira semuanya telah berakhir. Hanya mimpi buruk yang akhirnya terhenti, pikirku. Tapi saat aku melihat sekeliling, harapanku segera hancur. Aku masih di sini, di tempat yang sama, terjebak dalam lingkaran tak berujung dari kenangan yang selalu kembali.
Lorong sekolah itu kini tampak lebih panjang dan lebih gelap daripada sebelumnya, dinding-dindingnya yang berlumut memancarkan aura yang lebih suram. Bayangan Sarah dan semua orang dari masa laluku masih ada, berkilauan di ujung pandanganku, seperti cermin yang memantulkan kenangan yang tak terjangkau. Tidak ada pintu, tidak ada jendela, hanya lorong yang terus memanjang, membawa aku lebih jauh ke dalam kegelapan yang menyesakkan.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," kataku pada diriku sendiri, suaraku menggema dalam kesunyian yang memekakkan telinga. "Ini harus berakhir. Aku harus menemukan jalan keluar."
Namun, semakin aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, semakin nyata ketakutanku bahwa ini mungkin tidak akan pernah berakhir. Setiap kali aku melangkah, dunia di sekitarku berubah, membawa aku kembali ke tempat-tempat yang berbeda dalam hidupku—setiap ingatan terasa lebih mendalam, lebih nyata, seolah-olah aku benar-benar hidup kembali di dalamnya. Setiap sudut yang kutemui menampilkan potongan-potongan hidupku yang ingin kulupakan, yang kucoba kubur dalam-dalam.
Aku mencoba berlari, berharap bahwa jika aku cukup cepat, aku bisa meninggalkan semua ini di belakang. Tapi lorong ini seolah memiliki kehidupan sendiri, memutar dan membelok tanpa akhir, selalu membawa aku kembali ke titik awal. Tidak ada jalan keluar, tidak ada ujung yang bisa kulihat.
Setiap kali aku merasa telah menemukan cara untuk keluar, dinding-dinding ini berubah, merentangkan waktu dan ruang menjadi tak terbatas. Kenangan-kenangan itu bukan lagi hanya cerminan masa lalu, melainkan jerat yang menahanku, menarikku lebih dalam ke dalam kegelapan tanpa harapan. Aku mencoba memanggil suara yang sebelumnya kudengar, berharap dia bisa membimbingku keluar, tapi tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang merayap, semakin menenggelamkan aku dalam labirin ini.
Dengan setiap langkah, aku mulai kehilangan rasa waktu. Hari menjadi malam, malam menjadi hari, tapi tanpa ada perubahan yang nyata. Aku hanya terus berjalan, tak tahu kemana arah yang kutuju. Tubuhku mulai lelah, pikiranku terjebak dalam kebingungan, dan perlahan, aku mulai merasa bahwa mungkin aku memang tidak akan pernah keluar dari sini.
Tapi di tengah keputusasaan itu, sebuah gagasan muncul dalam pikiranku. Jika ini adalah labirin yang diciptakan oleh pikiranku sendiri—kenangan yang menjadi senjataku sendiri—maka mungkin aku bisa memanfaatkannya untuk melarikan diri. Mungkin jawabannya bukan terletak pada mencoba keluar dari sini, tapi pada memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Aku berhenti di tengah lorong, mencoba memusatkan pikiran. Aku harus menemukan pola, harus memahami bagaimana kenangan-kenangan ini bekerja. Setiap ingatan yang muncul memiliki sesuatu yang lebih dalam di dalamnya, sesuatu yang belum sepenuhnya kumengerti. Mungkin ada petunjuk di dalam kenangan-kenangan ini, sesuatu yang bisa membantuku membebaskan diri.
Dengan tekad baru, aku memutuskan untuk berhenti berlari. Alih-alih mencoba melarikan diri, aku mulai mengamati setiap detail, setiap perubahan dalam kenangan-kenangan ini. Aku melihat kembali potongan-potongan hidupku yang berbeda, mencoba menemukan benang merah yang menghubungkan semuanya. Sarah, sekolah, kuliah, rumah—semua itu tampaknya acak, tapi aku yakin ada sesuatu yang lebih besar yang mengikat semuanya bersama.
Aku kembali ke lorong sekolah, tapi kali ini dengan mata yang berbeda. Aku memperhatikan setiap pintu, setiap sudut, mencari sesuatu yang tidak biasa. Dan kemudian aku melihatnya—sebuah pintu yang sebelumnya tidak ada, tersembunyi di belakang bayangan yang tebal. Aku merasa ragu, tapi dorongan untuk keluar dari sini lebih kuat.
Dengan hati-hati, aku mendekati pintu itu, membuka knopnya perlahan. Pintu itu berderit, mengeluarkan suara yang menusuk, tapi aku tetap membuka lebih lebar. Di baliknya, aku melihat ruang kelas yang gelap, dengan papan tulis yang kosong dan bangku-bangku yang tertata rapi. Tapi ada sesuatu yang salah. Ruangan itu terasa dingin, hampir tidak nyata, seperti bayangan dari masa lalu yang telah lama terkubur.
Aku melangkah masuk, merasa udara yang semakin berat menyelubungi tubuhku. Di depan papan tulis, aku melihat diriku sendiri, duduk di bangku paling depan, menulis sesuatu dengan cepat. Aku mencoba mendekat, tapi seolah ada dinding tak terlihat yang menahanku, memisahkan aku dari bayangan masa laluku.
"Apa yang sedang kau lakukan?" bisikku pada sosok itu, meskipun aku tahu dia tak akan mendengar. Tapi bayangan itu berhenti menulis, perlahan menoleh ke arahku. Mata kami bertemu, dan aku merasa seolah-olah jiwaku menembus waktu, menyentuh sesuatu yang tak pernah kuketahui sebelumnya.
Kemudian, dengan tiba-tiba, bayangan itu tersenyum. Sebuah senyum yang dingin, penuh dengan rahasia yang tak bisa kuterjemahkan. Dan sebelum aku bisa bereaksi, ruang kelas itu berubah lagi. Dinding-dindingnya runtuh, membawa aku kembali ke lorong yang tak berujung.
Aku jatuh ke lantai, terengah-engah, tapi kali ini aku tahu bahwa sesuatu telah berubah. Pintu itu hilang, dan lorong kembali memanjang. Tapi ada satu hal yang kurasakan dengan pasti—aku tidak sendirian di sini. Ada sesuatu atau seseorang yang bermain-main denganku, mengarahkan setiap langkahku.
Aku harus lebih hati-hati. Setiap kenangan yang muncul bisa menjadi jebakan, atau bisa jadi kunci untuk keluar. Aku harus siap menghadapi apa pun, harus bisa memecahkan teka-teki yang tersembunyi di balik setiap kenangan ini. Hanya dengan begitu, aku mungkin bisa menemukan jalan keluar dari labirin yang tak berujung ini.
Namun, semakin aku menyadari kompleksitas dari dunia ini, semakin berat langkahku. Aku harus tetap fokus, tidak terperangkap dalam perangkap pikiran yang mengerikan ini. Tapi, sejujurnya, aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan. Setiap detik yang berlalu membawa aku lebih dalam ke dalam kegelapan, dan aku tahu bahwa jika aku tak segera menemukan jawabannya, aku mungkin akan tersesat di sini selamanya
KAMU SEDANG MEMBACA
2 Minutes
PoetrySebuah cerita mengatakan bahwa kenangan terbaik di dalam kehidupan diputar pada 2 menit sebelum kematian. Tetapi, apakah itu benar-benar hanya 2 menit?