Dunia di sekitarku sekali lagi berubah, berputar perlahan, seakan mencoba menenun sebuah kenyataan baru dari benang-benang kenangan. Aku merasa terombang-ambing di antara masa lalu dan masa kini, seolah-olah aku belum siap melepaskan satu kaki dari masa laluku, namun juga tak sanggup melangkah penuh ke masa depan yang belum kukenal.
Aku membuka mata, dan kini aku berada di sebuah kafe kecil yang hangat dan nyaman. Dinding-dindingnya dihiasi dengan rak buku, penuh dengan novel dan majalah yang telah kusam. Bau kopi yang segar memenuhi udara, bercampur dengan aroma manis kue yang baru saja dipanggang. Musik jazz lembut mengalun dari pengeras suara, menciptakan suasana yang damai.
Kafe ini bukan sembarang kafe. Ini adalah tempat di mana aku sering menghabiskan waktu sendirian saat kuliah, tenggelam dalam buku-buku atau sekadar merenung tentang hidup. Tempat di mana aku bisa sejenak melarikan diri dari kesibukan dunia luar, tempat di mana aku bisa berpikir jernih—atau setidaknya mencoba.
Aku melihat diriku duduk di sudut ruangan, dengan sebuah buku terbuka di depanku. Aku terlihat sedikit lebih tua daripada ketika di masa SMA, tapi mata yang memandang halaman-halaman buku itu masih menunjukkan kegalauan yang sama, kebingungan yang sama tentang arah hidup yang harus diambil.
Aku tahu persis apa yang sedang kupikirkan saat itu. Aku berada di tahun terakhir kuliah, dan masa depan yang pernah terasa begitu jauh kini ada di depan mataku. Tapi alih-alih penuh dengan antusiasme, aku merasa tersesat. Tidak ada jalan yang jelas terbentang di depanku, hanya sekumpulan pilihan yang semuanya terasa sama-sama menakutkan.
Di luar kafe, hujan mulai turun, tetesannya menari di atas jendela kaca di sebelahku. Aku teringat betapa banyak sore seperti ini yang kulewati dengan merenung, bertanya-tanya apakah aku membuat keputusan yang tepat dalam hidupku. Apakah aku akan menemukan jalan yang benar? Atau apakah aku akan terus terjebak dalam ketidakpastian, seperti yang selalu kulakukan?
Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Saat aku duduk di sana, tenggelam dalam pikiran, pintu kafe terbuka dan seseorang masuk, mengguncang rutinitasku yang biasa. Aku mendongak dan melihat seorang wanita yang tampak tak asing. Rambut cokelatnya yang bergelombang sedikit basah oleh hujan, dan senyumnya yang hangat menyebar begitu ia melihatku.
Itu Sarah.
Aku merasa jantungku melompat ke tenggorokan. Di masa lalu, kami telah lama kehilangan kontak setelah lulus SMA. Pertemuan ini adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan akan terjadi. Sarah melangkah mendekat, tampak tidak terpengaruh oleh waktu yang telah berlalu. Dia masih memiliki aura yang sama—kehangatan dan ketenangan yang selalu membuatku merasa nyaman sekaligus gugup.
"Hei, lama tidak bertemu," katanya sambil menarik kursi dan duduk di hadapanku. Suaranya lembut, seolah tak ada waktu yang memisahkan kami.
Aku hanya bisa mengangguk, berusaha mengatur napasku yang tiba-tiba terasa berat. "Ya, lama sekali. Apa kabar?"
"Kabar baik," jawabnya, sambil memesan kopi dari pelayan yang lewat. "Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan akhir-akhir ini?"
Pertanyaan sederhana itu terasa seperti ujian yang sulit. Aku tahu seharusnya aku menjawab dengan jawaban yang standar, tapi semua perasaan lama itu kembali menghantamku, membuatku ragu apakah aku bisa jujur tentang apa yang sebenarnya kurasakan.
"Aku... baik-baik saja," kataku akhirnya, meskipun aku tahu itu tidak sepenuhnya benar.
Sarah menatapku dengan tatapan yang dalam, seakan dia bisa melihat melalui kebohonganku. "Kamu terlihat tidak yakin," ujarnya dengan nada yang lebih lembut, membuatku sadar bahwa dia mungkin masih mengenalku lebih baik daripada yang kukira.
"Aku hanya... banyak berpikir akhir-akhir ini," aku mengaku, menundukkan pandanganku ke cangkir kopi di depanku. "Tentang masa depan, tentang apa yang akan kulakukan setelah lulus."
Dia mengangguk, tampaknya mengerti. "Itu normal, aku rasa kita semua merasakannya. Tapi kadang, kita terlalu banyak berpikir sampai lupa menikmati apa yang ada di depan kita."
Kata-katanya menusuk tepat di tempat yang paling dalam. Dia benar, tentu saja. Selama ini aku terlalu sibuk memikirkan apa yang akan terjadi, sampai-sampai aku lupa untuk menikmati saat-saat yang sedang terjadi. Dan sekarang, di hadapanku ada seseorang yang dulu begitu berarti bagiku, namun aku hanya bisa terjebak dalam kebingungan yang sama seperti dulu.
Kami berbicara lama di kafe itu, membicarakan hal-hal kecil, mengenang masa-masa yang telah lewat. Sarah menceritakan tentang kehidupannya setelah lulus SMA, tentang perjalanan yang telah dia lalui, dan bagaimana dia menemukan passion-nya dalam dunia seni. Ada cahaya di matanya saat dia berbicara tentang hal-hal yang dia cintai, dan aku tak bisa tidak merasa kagum.
Namun, di balik semua itu, ada perasaan samar yang masih tersisa—perasaan bahwa meskipun waktu telah membawa kami ke tempat yang berbeda, ada sesuatu yang tak pernah benar-benar hilang.
Ketika akhirnya kami berpisah sore itu, Sarah memberikan senyum yang lembut, namun dengan kedalaman yang sulit dijelaskan. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, oke? Hidup ini bukan tentang mencari jawaban yang tepat, tapi tentang menemukan apa yang membuatmu bahagia."
Aku menatapnya pergi, perasaanku campur aduk antara kelegaan dan kerinduan. Pertemuan itu, meski singkat, meninggalkan kesan mendalam di hatiku. Aku sadar bahwa meskipun masa lalu tak bisa diubah, aku memiliki kesempatan untuk memperbaiki masa depanku—untuk belajar dari apa yang telah kulalui dan tidak lagi terjebak dalam ketakutan yang sama.
Dengan langkah yang sedikit lebih ringan, aku meninggalkan kafe itu. Di luar, hujan telah berhenti, dan langit mulai cerah, memberikan secercah harapan untuk hari esok yang lebih baik.
Mungkin ini adalah langkah pertama menuju kebebasan yang selama ini kucari. Sebuah awal yang baru, meskipun masih diselimuti oleh bayang-bayang masa lalu, tapi dengan sedikit lebih banyak keyakinan bahwa aku bisa menemukan jalanku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
2 Minutes
PoetrySebuah cerita mengatakan bahwa kenangan terbaik di dalam kehidupan diputar pada 2 menit sebelum kematian. Tetapi, apakah itu benar-benar hanya 2 menit?