Selangkah didepan

59 18 9
                                    

'Gleg, gleg, gleg!'

Suara tegukan gelas lemon water terakhir Fio yang lalu dia letakkan berjejeran dengan dua gelas kosong di atas meja.

Kini gadis itu tengah berada di restoran Italia 'Black Forest'. Restoran andalannya ketika ingin membahas hal-hal penting dengan keluarga atau teman-temannya. Resto dengan gaya elegan ala ruang jamuan para bangsawan ini sebagian besar menggunakan semacam square table panjang yang cukup untuk diisi 10 orang.

Namun tidak seperti biasanya, Fio duduk di meja kecil yang memang tersedia untuk diskusi antara dua orang atau untuk bermesraan dengan pacar. Alih-alih meja yang biasa Fio booking yang berada di tengah-tengah ruangan.

Di restoran sebesar ini tidak mungkin Fio sendirian, tentu saja dia harus bersama Jean. Pria itu selalu mengikuti Fio kemana-mana seperti piyik.

Tapi bukan tanpa alasan, Jean bucin akut dan juga memang papa Fio sedari dulu selalu menitipkan putrinya pada Jean, katanya terlalu alay untuk memperkerjakan bodyguard.

"Emang ga asem?" tanya Jean dengan tampang tanpa dosanya.

"Je, sindrom lo stadium berapa si?" tanya balik Fio sedikit geram.

Dari tadi Fio minum hingga gelas ke tiganya, Jean sama sekali tidak bergerak. Pria itu hanya menatap wajah Fio tanpa mempedulikan ekspresi gadis itu yang jelas-jelas keasaman, Jean juga tidak mempedulikan jika nanti Fio terkena asam lambung.

"Sindrom apa?" tanya Jean kebingungan.

"Besok gue anter lo ke dokter, lo harus konsultasi. Keknya lo kena Sindrom Asperger. Interaksi lo remidi banget."

"Sorry."

"Nah 'kan bener. Lo kena Sindrom Asperger."

Jean menghela napas. "Terus kenapa?"

"Gapapa. Lo jadi beda dari yang lain, and that be your attraction," jawab Fio seraya memandangi setiap sudut wajah Jean yang selalu menjadi pemandangan favoritnya sejak dulu.

Sejenak Fio melupakan apa yang membuatnya menghabiskan tiga gelas air lemon itu.

Jean yang ditatap sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia salting, pria itu justru menampilkan senyum menawannya untuk Fio. "Cause im handsome."

"Ya, gue akui. Tapi lo ga mirip sama ayah lo."

Pria di hadapannya itu menurunkan senyumnya, tatapan takjub di matanya kini berubah menjadi tatapan jengah. "Gausah bahas itu."

Fio hanya membalas dengan senyum miring, lalu dia teringat sesuatu yang dari kemarin meresahkan pikirannya.

"Jelas banget gue liat cewe pake topi videoin gue di mall kemaren. For what? Bulan bayar orang? Uang darimana?" tanya Fio bertubi-tubi menatap Jean.

Pria itu mengedikkan bahu.

"Dia belom ngasih CV di bakery itu 'kan?" tanya Fio lagi mengingat kemarin dia melihat kertas lowongan pekerjaan yang tertempel di kaca bakery yang Bulan dan Jean perhatikan.

Jean menggeleng. "Kemaren dia masih cuma lihat-lihat, keknya belom sempet ngelamar."

"Ada yang punya akses ke bakery itu ga? Jangan sampe Bulan dapat uang dan nyewa orang buat nyari info, pokoknya gue mau semua jalan yang memudahkan dia dapat informasi diblokir." Kini Fio mulai merogoh tas berkulit mutiara nya, dan mengambil sebuah dompet untuk mengecek sesuatu.

"Ga ada, itu anak cabang bakery asal Norwegia, ga ada orang lokal yang megang."

"Bisa disuap dollar ga?" tanya Fio sambil memilah-milah kartu warna-warni di dompetnya dan bergumam, "God."

Jean menggeleng. "Norwegia masuk lima besar negara dengan tingkat korupsi terendah, mereka ga mungkin gampang disogok."

"Terus gimana?"

"Gue tau."

~•~

"Coba lo cari tau soal Aileena, murid sekolah gue yang katanya bunuh diri setahun lalu," ucap Bulan sambil menempelkan ponsel di sebelah telinganya.

Terdengar orang dari seberang mengatakan sesuatu yang membuat Bulan kemudian berucap, "thanks, Me."

"My pleasure," ucap Mega dari seberang yang kemudian mematikan sambungan telepon itu.

"Gue malah ga kepikiran soal bocah cupu itu."

Bulan menoleh. Entah sejak kapan dia mempercayai orang ini dan membiarkannya mengetahui percakapan antara Bulan dengan Mega.

"Kasusnya dibarengi sama kemenangan Fio di ajang Ballet New York, semua orang fokus sama Fio dan ngelupain Alin. That is alibi," jelas Bulan lalu kembali menyesap orange juice nya.

Laki-laki di samping Bulan itu mendengus. "Bisa-bisanya gue kalah pinter sama anak baru."

"Bay the way, lo ngapain tiba-tiba ngajak gue kesini? Mata-matanya Fio?" tanya Bulan.

Pria itu terkekeh sambil menyapu rambut depannya ke belakang. "Yakali. Gue ga suka sama dia, entah kenapa."

"Wah, you're pick me?" ucap Bulan tidak menyangka. Dari sekian banyaknya siswa yang memuja-muja Fio, orang ini justru malah tidak suka? Bulan yakin dia berbohong.

"Bukannya pick me. Fio emang secantik, semulus, dan sebahenol itu. Tapi sejak gue tau dia tukang ngancam, gue jadi ga suka sama dia. Normal 'kan?"

Bulan menatap jengah dengan ekspresi tidak percaya. "Hilih, tadi aja lo sempet cat calling in dia."

"Ga sampe cat calling juga, anjir. Cuma muji biasa."

"Nah tu 'kan."

"Sst," potong Bulan sambil langsung mendekatkan dirinya ke pria itu lalu menutupi wajah mereka dengan buku menu. "Fio sama Jean."

Bulan menurunkan buku menu itu setelah dirasa Fio dan Jean sudah pergi, ternyata mereka baru saja dari restoran Black Forest yang kebetulan berseberangan dengan cafe yang Bulan duduki kini.

"Kevin, sejauh apa lo tau tentang Jean?" tanya Bulan setelah itu kepada orang di sampingnya.

Ya, Kevin langsung menetapkan tekadnya untuk menolong Jean dari ancaman dengan bekerjasama dengan Bulan, apalagi setelah mendapat bantahan telak dari Joe. Kevin tahu kini hubungan Bulan dan Fio sudah tidak seperti dulu, jadi ini kesempatan untuknya.

Laki-laki itu langsung ke rumah Bulan dan menculiknya kesini, lalu menjelaskan tentang semua yang dia ingin jelaskan kepada Bulan. Bahkan dia memberi tahu apa ancaman Fio untuk Jean.

"Gue ga banyak tau soal dia. Dia cukup care si, baik menurut gue, dan yang pasti dia sayang banget sama omanya. Mereka ga bakal kaya tanpa oma Elis Bethanie. Pengusaha cookies rumahan dari Belanda yang sekarang bercabang dimana-mana."

"Ah, soal oma Elis. Lo bisa jelasin juga?"

Kevin mengangguk. "Oma Elis asli Belanda. Beliau selalu ga segan-segan nunjukkin klo suka atau ga suka sesuatu, sejauh yang gue tau, beliau hampir sama kayak Jean, langsung to the point ga pake basa-basi. Gue aja ga percaya waktu Jean bilang dia bukan keturunan asli mereka, sifat mereka terlalu mirip."

Bulan terlihat memikirkan sesuatu. "Jean ga mungkin menakutkan status, bahwa dia bukan keturunan mereka itu keumbar, 'kan? Itu terlalu pengecut, dan tu cowo ga mungkin pengecut."

"Hah? Gimana?"

Gadis itu lantas melirik Kevin di sampingnya yang memang terlihat kebingungan, lalu menoyor kepala pria itu geram. "Anterin gue pulang sekarang."

~•~

Wih, Bulan udah dapet 2 Support.
Mari kita lihat rencana dan aksi mereka berikutnya in the next part>>

Kalian kubu mana nih, Bulan atau Fio?

TO BE CONTINUE>>

ANTIHEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang