Author's pov:
Tujuh bulan kemudian.
"Aku dan Kangdae masih duduk di bangku SMA ketika mengetahui bahwa aku sedang mengandung. Kami memang begitu bodoh waktu itu. Pihak sekolah langsung mengeluarkan kami dan orang tuaku mengusirku dari rumah. Ayah Kangdae sudah meninggal sejak ia masih kecil. Aku dan Kangdae kemudian menikah lalu tinggal bersama ibunya. Kangdae bekerja mati-matian untuk menghidupi kami bertiga. Hingga akhirnya... kau dan Seungjun terlahir. Keadaan ekonomi kami yang begitu mendesak membuat kami..." Wanita yang kini berada di usia pertengahan tiga puluhan itu berhenti sejenak. "...terpaksa meninggalkanmu di panti asuhan." Raut penyesalan dan perasaan bersalah terlihat jelas di wajahnya.
Soobin terdiam mendengarkan penuturan wanita itu. Ia tidak tahu harus memberikan respons bagaimana.
"Maafkan aku, Soobin. Aku benar-benar menyesal karena telah melakukannya. Jika saja waktu bisa terulang kembali, maka aku akan tetap berusaha membesarkan kalian berdua bagaimana pun caranya!" Air mata mulai mengalir di pipi wanita tadi.
"Ibu." Panggil Soobin pelan.
"Tidak, aku tidak pantas untuk kau panggil sebagai ibu. Ibu mana yang tega menelantarkan anaknya sendiri hanya karena masalah ekonomi?" Wanita itu mulai terisak.
"Ibu." Ulang Soobin. "Aku datang kemari untuk menemui kalian. Bukan untuk menyalahkanmu dan ayah atas semua yang sudah terjadi." Ia menatap ke arah sang ibu dan seorang pemuda yang duduk di sebelah wanita itu secara bergantian. "Omong-omong, di mana Ayah dan Nenek?"
"Ayah telah meninggal tiga tahun yang lalu. Begitu juga dengan nenek enam tahun yang lalu. Sekarang, aku dan Ibu hanya tinggal berdua saja di rumah ini." Tutur Seungjun, pemuda yang duduk di sebelah sang ibu.
Raut wajah Soobin berubah sendu. "Sayang sekali aku belum sempat untuk bertemu dengannya..."
Seungjun mendengus. "Tidak juga."
"Maksudmu?" Tanya Soobin tidak mengerti.
"Kau tidak perlu bersikap munafik, Soobin." Seungjun tersenyum miring. "Pasti di dalam hatimu, kau merasa begitu beruntung karena Ayah dan Ibu sudah membuangmu waktu itu. Lihatlah dirimu sekarang! Kau diadopsi oleh konglomerat dan hidup dengan jauh lebih baik. Kau bisa mendapatkan semua hal yang tidak akan pernah bisa kau dapatkan jika hidup bersama kami. Jika aku jadi kau, maka aku tidak akan mau repot-repot datang ke rumah kumuh ini!"
"Jika kau jadi dia, maka aku tidak mungkin mengadopsi anak arogan sepertimu." Namjoon yang sedari tadi duduk di sebelah Soobin akhirnya ikut angkat bicara. "Apa yang kau tahu tentang Soobin? Apa kau bisa membaca pikirannya?"
Seungjun terdiam seraya menundukkan wajahnya.
Soobin tersenyum kecil. "Jangan terlalu galak, Appa."
"Aku tidak ingin ikut campur dengan urusan keluarga kalian. Tapi, jika kau berani berbicara buruk tentang Soobin, maka aku tidak akan tinggal diam." Ucap Namjoon seraya menatap Seungjun tajam.
"Tenanglah, Appa. Bukan masalah besar." Soobin berdeham. "Sebenarnya kami masih ingin berada di sini sedikit lebih lama. Tapi..." Ia melirik ke arah Namjoon sejenak. Namjoon mengangkat kedua alisnya sebagai sebuah sinyal. "...kami harus segera pulang untuk mempersiapkan perayaan malam tahun baru. Dan ini..." Soobin mengambil sebuah bingkisan berukuran sedang yang sedari tadi ia letakkan di sebelahnya dan memindahkannya ke atas meja tamu. "...anggap saja sebagai hadiah kecil dari kami. Aku harap kita bisa bertemu lagi di lain waktu."
Sang ibu mendorong bingkisan tersebut pelan. "Kau tidak perlu memberikan apapun. Justru, akulah yang seharusnya memberikan hadiah untukmu."
Soobin kembali mendorong bingkisan tersebut ke arah wanita itu. "Kau sudah memberikan hadiah untukku, Ibu." Ia mengeluarkan liontin kalungnya yang semula tersembunyi di balik kemejanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Spoon | BTS + TXT [End]
FanfictionSEQUEL OF "PARTNER" Ketika anak-anak pasangan 'Double Kim' telah beranjak remaja dan mulai menyembunyikan berbagai rahasia dari kedua orang tua mereka.