Chapter 02.

130 66 118
                                    

Rui memasuki ruang kelas yang sudah ramai, teman-temannya berkerumun membentuk kelompok dalam percakapan yang hidup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rui memasuki ruang kelas yang sudah ramai, teman-temannya berkerumun membentuk kelompok dalam percakapan yang hidup. Ketika dia berjalan melewati lautan meja, kakinya tersangkut sesuatu, membuatnya jatuh ke lantai.

"Hey, watch your step!" Salah satu temannya membentak.

Terengah-engah, Rui mendengar suara tawa di sekeliling, bercampur dengan rasa sakit di kepalanya karena terbentur kaki meja. Saat dia mencoba untuk mendapatkan kembali keseimbangan, seorang gadis dengan bandana ungu mendekat, wajahnya terukir kenakalan. Tanpa peringatan, ia mengulurkan tangan dan menarik syal di leher Rui, sebuah gerakan lucu yang dengan cepat berubah menjadi berbahaya saat kain itu mengencang — membatasi pasokan udara Rui.

Panik, Rui mendorong lengan gadis itu, matanya terbelalak karena putus asa. Ekspresi gadis bandana ungu itu berubah dari ceria menjadi khawatir ketika melihat tanda merah samar yang melingkari leher Rui — menyerupai bekas lecet. Kesadarannya muncul, dia melepaskan Rui dengan ekspresi terkejut.

Rui menarik napas, tangannya langsung menutupi bekas luka di lehernya. Sebuah pengingat akan pertemuannya dengan Raven, pria yang telah menyerangnya kemarin. Bekas luka tersebut adalah saksi bisu dari cobaan yang dialaminya, tersembunyi di balik lapisan kain untuk menghindari perhatian yang tak diinginkan.

Rui beralih duduk di sudut ruang kelas. Meja usang miliknya dipenuhi dengan coretan dan goresan, cerminan dari reputasinya sebagai siswi dengan peringkat terbawah.

Coretan-coretan itu seakan berbisik sinis, mengulang cemooh yang selalu mengendap di udara di belakang punggungnya. Tapi, Rui tak lagi tersentuh oleh semua itu — setiap kata tajam yang ditujukan padanya terpantul, seolah dia sudah lama membungkus dirinya dengan lapisan tebal ketidakpedulian.

Meskipun terlihat pendiam, Rui menyimpan jiwa pemberontak. Dia melanggar peraturan, membolos, dan belajar hanya jika mood-nya sedang bagus. Cemoohan teman-temannya bagai hujan rintik yang menggedor jendela; tak dihiraukannya, hanya gemuruh di latar belakang. Mereka telah memberinya julukan —‘gadis terbodoh seantero semesta.’

Kini, Rui mengambil beberapa buku dari laci, menggunakannya sebagai bantal darurat. Menghela napas panjang, ia memejamkan mata, meredam suara bising di dalam kelas. Pikirannya melayang, membiarkan rasa kantuk datang menghampiri.

Saat hendak menutup mata, pandangan Rui tertuju pada sebuah meja kosong. Meja itu milik Raven, dia belum datang ke kelas pagi ini. Rasa penasaran Rui muncul begitu saja, menanyakan alasan di balik ketidakhadiran Raven.

"Raven belum dateng, ya?" Tanya Rui sambil menoleh ke Bona dan Dasha, dua gadis yang duduk di depan mejanya.

"Tumben nanyain Raven." Bona melirik sekilas ke arah Rui, kecurigaan di matanya.

Rui berdecak cepat. "Cuma pengin tahu."

Alis Dasha terangkat. "Seriously?"

"Iya, serius."

𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓 𝐌𝐄 𝐀𝐒 𝐀 𝐕𝐈𝐋𝐋𝐀𝐈𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang