Julia mengeraskan hatinya. "Beritahu aku siapa dia sebenarnya?"
Alan mengernyit. "Seperti yang kukatakan, Jorine hanya teman lama."
"Teman lama?" Julia merengutkan wajahnya penuh curiga. "Tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda saat kalian bersama."
"Julia, aku tidak akan berbohong tentang ini. Aku tidak bisa membuatmu berhenti memikirkan yang bukan-bukan tapi inilah fakta yang sebenarnya."
"Tapi dia secantik itu."
"Menurutmu aku akan mengencani semua wanita cantik di depan mata?"
"Aku tahu track record hubungan asmaramu?"
"Kau tahu?" Alan menatap lurus padanya. "Kau mengetahui sesuatu yang bahkan tidak kuketahui?"
"Jangan menghindar. Aku tahu kau ini playboy sebelumnya."
Alan menghembuskan napas lelah. Dia mengambil tangan Julia lalu menggenggamnya sambil menatapnya meyakinkan. "Albino, bukankah kukatakan kaulah kekasih pertamaku? Aku tidak berbohong saat mengatakannya. Ya, aku pernah bersama mereka tapi aku tidak pernah mengatakan mereka kekasihku. Aku tidak pernah mengungkapkan cinta. Aku tidak pernah ingin bertemu mereka setiap menit."
Kalimat itu membuka begitu lebih banyak lagi kesempatan bagi Alan untuk masuk ke hati Julia. Well, walaupun fakta bahwa dia menyebut 'mereka' yang artinya majemuk, tapi Alan tidak pernah mengakui mereka. Alan hanya memikirkan Julia seorang dan ia sangat bangga akan itu.
"Aku mencintaimu, Julia." Alan membawa Julia semakin dekat padanya. "Aku hanya menginginkanmu sekarang."
Setelah mengatakan itu Alan memeluknya erat. Pelukan Alan selalu hangat dan nyaman. Walau Alan selalu membuatnya tenggelam dalam pelukan eratnya, Julia selalu merasa tenang. Ia menjadi wanita paling bahagia ketika Alan membawanya ke sisinya. Dari sini Julia bisa merasakan kerinduan dominan dari Alan untuknya. Julia juga sangat merindukannya. Hatinya lelah dan ingin bertumpu serta bermanja pada beruang besarnya. Walau begitu ada satu masalah di sini. Ugh! Kenapa Alan selalu memeluk seperti meremasnya sampai kesulitan bernapas?
Julia menggeram. "Katakan jika kau ingin balas dendam. Pelukan ini terlalu erat. Aku bukan guling."
Alan tidak peduli. Dia tidak pernah peduli. Alan selalu memperlakukannya seperti boneka kecil yang bisa diapit sekencang mungkin. Lihat sekarang, dia bahkan menggendongnya dan memeluknya semakin erat.
"I miss you, Albino. I miss you so much," ucap Alan mengecupi rambut dan pipinya.
Julia tertawa kecil. Amarahnya lenyap seketika saat Alan menjadikannya pusat dunianya. Walau menggemaskan dan sering membuatnya kesal, Julia tahu Alan paling mencintainya. "I miss you too. Apa yang kau lakukan selama liburan? Tubuhmu mengurus."
"Mmm." Alan menggesek-gesekkan wajahnya sangat manja di pundak Julia. "Aku tidak tahu kemana nafsu makanku pergi saat berjauhan darimu."
"Oh apa itu gombalan baru? Darimana kau belajar? Pria pendiam sepertimu tidak mungkin bisa berkata-kata seperti ini. Apa Jarvis mengajarimu?"
Alan berdecak lalu menjauhkan wajahnya dari pundak Julia. Sorot matanya berbinar menatap Julia seolah Julialah satu-satunya alasan yang membuatnya bisa bernapas di dunia ini. Julia memberinya senyum tipis kemudian mengusap rambut Alan masih dalam posisi Alan menggendongnya.
"Sekarang kita bersama. Jaga dirimu dengan baik. Aku tidak suka merawat orang sakit."
Mungkin karena tubuh Alan yang proporsional dan ukuran tubuh Julia yang kecil, Alan sanggup menggendongnya dengan satu tangan. Alan menyengir. Dia menggenggam tangan Julia yang mengusap rambutnya kemudian mengecup telapak tangannya.