Seorang Frans

3 1 0
                                    

Setelah beberapa waktu memutuskan keluar dari zona berpacaran yang menurutku kurang sesuai denganku, aku akhirnya merasa memang tidak memerlukan laki-laki untuk hidup. Toh aku tetap bisa bernafas dan beraktivitas seperti pada umumnya. Karna orang lain berpacaran, bukan berarti aku wajib berpacaran juga kan? Toh waktuku masih panjang, aku masih SMA dan tentu saja aku bisa berpacaran saat... yah mungkin saat aku lulus SMA? Mungkin. Sudahlah! Makan tuh pacaran! Aku gak perlu pacar!

Sambil sedikit merengut, kuraih handuk dari balik pintu kamar tidurku. Membuka pintu perlahan dan akhirnya melewati anak tangga satu-persatu. Begitu sampai di depan pintu kamar mandi dengan tema menyatu dengan alam, aku masuk ke kamar mandi sambil sedikit menggigil. Masih sangat gelap sekitar 5.00 subuh dan aku disini sedang berkelahi dengan rutinitas harianku sebelum berangkat ke sekolah. Kadang aku berfikir apa semua anak-anak diluar sana sepertiku? Andai saja sekolahku tak sejauh itu pasti aku punya waktu lebih banyak untuk tidur, dan terhindar dari dinginnya angin subuh setiap hari. Selama 3 tahun! Dan tidak terasa ternyata aku sudah di tahun kedua, yang artinya aku hanya perlu melewati 1 tahun lagi. Entah apa yang sangat kunantikan sampai aku begitu tidak sabar melewati masa-masa SMK. Entah apa yang kukejar.

Begitu selesai mandi aku bergegas menaiki anak tangga dan masuk ke kamarku. Begitu dingin sampai rasanya ingin sekali kembali tidur dan menutupi seluruh badanku dengan selimut. Aku melirik ke celah pintu di mana mama dan ketiga adikku tidur. Lihatlah mereka, begitu lelap tidur, pikirku. Sambil tersenyum tipis, aku masuk ke kamarku dan mulai berbenah. Aku harus berangkat pagi-pagi sekali karna memang sekolahku lumayan jauh, dan angkot yang setiap hari menjemput kami selalu datang awal. Terlalu disiplin dan tepat waktu. Benar saja, beberapa saat kemudia aku mendengar deru mobil berhenti di depan rumahku. Itu pasti angkot gokil. Sebutan terkenal untuk angkot itu. Kuraih tasku dan bergegas sebelum klakson dibunyikan. Seperti biasa didalam sana sudah ada anak-anak lain. Beberapa anak dari sekolah lain yang sebenarnya sangar familiar karna tiap hari menaiki angkot yang sama. Tapi tentu saja, hanya sebatas kenal karna memang kami tidak pernah mengobrol. Interaksi terjauh yang pernah kami lakukan adalah bertatapan secara tidak sengaja.

Aku lega saat melihat spot duduk favorite ku kosong. Kursi menghadap ke kedepan tepat di belakang supir. Spot teraman dan ternyaman menurutku. Sedangkan 3 orang laki-laki itu duduk berjejer di bangku belakang. Seperti biasa 2 orang temanku akan naik beberapa meter lagi di gang depan. Kebetulan rumah kami hanya berjarak beberapa puluh meter. Yap benar saja Yona dan Fitri sudah menunggu. Aku bisa melihat bayangan mereka bahkan dari jauh dengan hanya bantuan cahaya redup angkot. Mereka naik. " haiii" sapaan pagi dan beberapa cerita kecil menemati kami sampai akhirnya angkot berhenti lagi beberapa anak yang sama sekali tidak kukenal juga masuk dan mengisi bagian kosong kursi. Hanya beberapa kursi saja yang kosong sekarang. Beberapa kursi dengan arah berlawanan yang tentu saja dihindari semua orang termasuk aku. Setelah beberapa waktu angkot berjalan, lalu seperti biasa berhenti lagi. Seorang laki-laki jangkung berdiri di seberang jalan. Bersiap untuk masuk ke angkot. Salah satu dari beberapa wajah yang familiar karna memang tiap hari menaiki angkot yang sama denganku. Dia melongok sebentar melihat kursi belakang yang memang sudah penuh, akhirnya dia duduk tepat dibelakang supir yang berhadapan langsung ke muka ku. Aku mencoba terlihat santai tapi jujur saja, menurutku ini sedikit canggung. Dan aku sedikit merasa, entahlah, kenapa jantungku berdegup kencang? Aku menoleh ke arah luar jendela. Menghindar agak tidak bertatapan. Beberapa waktu kami saling habiskan dengan saling bungkam. Hanya deru angkot dan lagu-lagu dari USB bang gokil yang membuat bungkam sedikit menjadi ramai.

Aku sedikit melirik ke kaca depan sambil berusaha agar mata kami tidak bertemu. Hanya tinggal beberapa puluh meter lagi sampai akhirnya kami akan sampai di sekolah. Aku kembali menoleh ke kaca tepat di sebelah kanan ku saat tiba-tiba aku merasa ada sepasang mata sedang melihat ke arahku. Sambil acuh aku tetap memandang keluar jendela kaca disebelahku. Akhirnya angkot berhenti. Beberapa anak yang duduk di depan dan Yona juga Fitri turun dari angkot, diikuti beberapa anak lainnya. Aku menunggu agar bisa turun terakhir. Tapi laki-laki jangkung di depanku malah tidak bergerak sama sekali. Lalu aku reflek menoleh tepat ke matanya. Mungkin dia tahu maksudku adalalah menunggu dia untuk turun. Lalu sambil tersenyum kecil, dia menjulurkan pelan tangannya, seperti aba-aba kalau aku bisa turun duluan. Akhirnya aku turun dan jadilah laki-laki janggkung itu turun belakangan. Sambil melangkah turun, aku merogoh saku depan baju seragamku. Dengan niat untuk membayar ongkos. Sedetik sebelum aku mengulurkan uang itu ke supir anngkot, tiba-tiba badanku merosot jatuh ke bawah. Kaki kananku masuk ke celah-celah besar bongkahan semen penutup got. Aku bisa merasakan sakit yang luar biasa diseluruh kaki kananku. Tapi persetan dengan rasa sakit, aku lebih malu karna mereka semua ternyata sedang memangdang kearahku. Beberapa dari mereka bahkan tertawa kecil. Sambil meringis Yona dan Fitri menjulurkan tangan mereka, mencoba menarikku keatas. Rok abu-abuku robek sedikit dan beberapa goresan panjang di pahaku. Aku mencoba tertawa kecil menutupi sedikit rasa malu. Beberapa anak telahpun bubar. Hanya si jangkung dan seorang temannya, mereka berjalan di belakang kami.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta monyet-kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang