Seorang Geri.

46 1 0
                                    

Perawakannya tinggi dan terlihat dewasa. Memang jenis laki-laki yang aku suka. Dia tak terlalu hitam tak terlalu putih, Sawo matang. Rambutnya cepak dan tangganya kekar. Saat aku tahu dia seorang anggota karate yang sudah tingkatan tinggi di kelas karatenya, aku menemukan jawaban kenapa dia bisa punya tangan yang kekar seperti itu.

***

Aku mendengar suara motor berhenti di depan rumahku. Aku semakin gugup aku tahu itu pasti dia. Aku mengintip dari jendela dan melirik kebawah teras, dan benar saja. Seseorang yang sepertinya dia adalah Geri sudah berhenti di depan rumahku. Aku masih mengintip. Kulihat dia mengeluarkan HP nya. Mungkin dia akan mengirimiku SMS. Benar saja.
" Kamu dimana. Aku kayaknya udah sampe rumah kamu deh"
" Rumah kamu yang kedua dari gereja kan?"
Aku membaca dengan tangan yang gemetar dan basag sambil mengintip ke bawah, lalu membalas.
"Iya, sebentar ya. Aku turun."
Aku melangkah. Turun. Melewati anak tangga satu per satu. Ayahku sedang berada di ruang tamu seperti biasa, menonton TV bersama adik-adikku.
" Mau kemana?" katanya.
"Temenku datang, aku mau ambil buku " Kataku tanpa melihat ke Ayah. Sedikit tidak sabar.

Aku tahu ayah tak akan marah kalau aku bertemu teman laki-laki. Tapi tetap saja, aku terlalu malu untuk bilang kalau orang yang datang menemuiku adalah seorang laki-laki.

Begitu keluar pintu, aku langsung melihat wajahnya. Dia tersenyum seperti tersipu. Sepertinya dia juga sedikit malu. Aku mendekati dan akhirnya aku benar-benar berdiri di depan motornya dan " hai" itu saja yang keluar dari mulutku. Dia mengulurkan tangannya dan aku menyambut. Kami bersalaman dan lalu sama-sama tertawa. Aku tahu itu sangat canggung. Kami lalu mulai berbasa-basi dan bercerita. Tapi masih di depan rumah. Begitu saja.

Ya. Pertemuan pertamaku, aku belum berani kemana-mana. Belum berani terlalu jauh. Aku terlalu takut! Dia mengajakku ke simpang untuk makan bakso atau sekedar cari angin sambil naik motor. Namun aku jadikan ayahku sebagai alasan agar aku tidak jauh-jauh dari rumah. Jujur aku sangat takut.
" Nanti ayahku marah." kataku. "Lain kali saja". 
" Ya sudah, biar aku permisikan saja sama ayah kamu, pasti gak bakal marah" Noooo.
" Jangan, gak usah" kataku menolak dengan hati-hati. Takut dia mengetahui bahwa sebenarnya aku yang terlalu takut untuk pergi berdua saja dengan dia. Sekuat tenaga aku menolak.
Lalu begitu saja waktu berlalu, akhirnya dia pamit pulang. Sepertinya dia sedikit kecewa.

Beberapa hari setelah malam itu, dia memutuskan untuk berpacaran denganku. Ya, pacaran. Awalnya aku sangat tak percaya bahwa dia ingin serius. Bagiku itu lucu. Kenapa bisa begitu. Apa yang aku pikirkan sampai aku berpikir bahwa dia mungkin hanya main-main denganku?

Alasan pertamanya adalah, karna apa yang aku pikirkan tentang diriku sendiri. Apa masalahnya? Jadi begini, aku berpikir bahwa diriku yang dulu itu adalah gadis yang biasa aja, yang mungkin gak bakalan ada seorang pun yang bakalan suka dengan ku. Itulah yang selalu ada di benakku tentang diriku sendiri. Pikiran-pikiran seperti itulah yang membuatku tak percaya kalau seorang Geri ini memutuskan untuk lanjut berteman dan bahkan pacaran denganku. Aku tak percaya apa yang baru saja aku baca melaui SMS.
" gak ah, aku mau kita tetap jadi teman aja. "
"Loh, kenapa begitu?"
Aku diam memadang layar. Lalu berpikir. apa yang harus kukatakan agar dia mengiyakan keinginanku yang tak ingin berpacaran, tapi aku ingin tetap punya teman yang mengSMS dan meneleponku untuk mengisi kekosongan hariku selain sekolah. Aku mulai berkecamuk. Atau kuterima saja dia? Tapi, hem kalau aku menerimanya, kemungkinan dia akan selalu minta untuk bertemu dan aku tak suka itu. Arggghhhhh, apa yang harus kulakukan? Tanpa sadar, sepertinya dia sudah terlalu lama menunggu balasan dariku.
"Hei, kamu tidur?"
" Gak"
" Kenapa diam?"
Argghh....
Akhirnya aku mengetik mambalas. Panjang. Lalu, kami pacaran.

Cinta monyet-kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang