Seorang Martin.

16 1 0
                                    

Aku melirik lagi ke tempat yang aku tahu selalu ada Martin didalam. Entah kenapa aku sangat ingin melihat dia. Aku tidak melihatnya hari ini di sekolah. kemana dia? lalu ada yang aneh di depan rumah yang aku yakini adalah rumahnya. Ada tanda salip dan sebuah kotak besar berwana coklat untuk mengubur mayat. " Ada apa ini? " aku heran. Ada beberapa orang menangis di dalam rumah itu dan ada seseorang yang tergeletak di sebuah tikar dan ditutupi dengan kain berwarna putih. Aku tau, pasti ada seseorang yang meninggal , tapi siapa? Atau mungkinkah? Aku panas dingin, bayanganku tentang seorang Martin yang kupuja-puja dalam hati lalu datang kedalam bayangaku. " ah tidak, tidak mungkin!"

Kejadian itu begitu saja berlalu karna aku benar-benar tak punya informasi apapun untuk menjawab apa yang kulihat saat itu. Sementara Martin, aku sudah lama tak melihatnya. Seperti bisa, seperti hari-hari sebelumnya, aku sedang dalam perjalanan ke sekolah. Jalanan masih sepi, hari ini kuputuskan jalan kaki ke tempat nongrong para angkutan umum. Angkot yang selalu menjemput ke depan rumahku sepertinya absen. Sambil bernyanyi kecil, akhirnya aku sudah di persimpangan rumah Martin. Aku sengaja memperlahan langkah kakiku. Saat tiba-tiba kulihat dia muncul dari dalam rumahnya. Ohhhhh... Aku terenyuh, itu dia! Benarkah itu dia? Aku melirik sekali lagi. Ah tidak salah lagi, dari potongan rambut itu dan juga senyum sinis yang selalu kurindukan! Akhirnya aku melihatnya lagi.

Aku mulai menertawai kebodohanku minggu lalu, aku sempat berfikir dan berimajinasi dengan kacau bahwa seseorang yang terletak dengan kotak mayat di sebelahnya adalah Martin. aku lega, tak tau kenapa tapi aku bahagia. Aku hanya tersenyum di kelas saat itu. aku mulai menyanyikan lagu-lagu Justin Bieber dengan Lisa, dan sepertinya dia menyadari ada yang lain dari ku. " Kamu kayaknya lagi bahagia banget tias, " dia meringis geli di sebelahku. Aku jengkel, ekspresinya membuatku jijik. Tapi aku tertawa dan tak menjawab. "Kamu kenapa sihh??" dia masih penasaran . Membuat ku makin jengkel. Aku kesal dengan rasa penasarannya yang tak bertepi , akhirnya aku menarik tangannya dan pergi ke warung belakang kelas. Membeli jajanan, dan menyumpal mulutnya dengan momogi rasa coklat favoritku.
***
Di depan buku harianku, sembari menatap rintik hujan yang sudah hampir cerah, aku menatap lama. Hm aku tak pernah begini. Hatiku terasa hangat saat melihat dia, bahkan walau hanya dari kejauhan. Lalu aku tersenyum bodoh dan mulai mencoret buku diaryku. Diam-diam aku menuliskan nama Martin disana. Imajinasi bodoh ku awut-awutan. Seolah-olah Martin adalah pacarku, aku mulai menuliskan beberapa puisi cinta di buku lainnya. Sungguh konyol..

Aku tertawa bila mengingat hal itu. tahu kenapa? Karna itu hal paling imajinatif yang aku lakukan selama hidupku. Aku sama sekali tak pernah berbicara dengan seseorang yang kuakui sebagai pacarku itu. aku hanya mengaguminya. Seorang Martin yang dalam hati sangat ingin kukenal atau bahkan kumiliki. Saat itu adalah saat-saat ternaif dalam hidupku. Saat ada yang berbicara tentang pacar mereka masing-masing, lalu akan mulai bercerita tentang Martin. Aku tahu dia tidak sepenuhnya fantasi, tapi tetap saja dia bukan orang yang kukenal atau bahkan dia tak mengenalku sama sekali, aku hanya mengaguminya dan lucunya aku berharap bahkan berdoa agar bisa memilikinya. Jiwa jomblo ku saat itu meronta-ronta agar diberi kesempatan berbicara dengannya. Aku begidik menertawai diriku sendiri yang begitu naif dulu. Saat itu aku hanya seorang murid SMP. Aku masih polos, hitam, dan dekil, serta masih pakai HP nokia yang layarnya berwarna kuning, di saat itulah teman-temanku sudah mulai berpacaran. Membuatku muak sekaligus geli, tapi ingin. huh!

***

Kisah seorang Martin berangsur-angsur lenyap begitu saja. Semua cerita itu dan semua cinta fantasi yang setiap kali kukarang kepada teman-teman ku saat mereka heboh bercerita soal cinta berangsur-angsur lenyap. Aku mulai bosan mengarang cerita bodoh seperti itu. Sampai akhirnya seorang Geri yang pernah berbicara denganku lewat SMS tiba-tiba datang lagi. Rasa panasaranku muncul tentangnya. tak sengaja Tina yang saat itu duduk disampingku saat dalam angkot untuk berangkat sekolah tiba-tiba dapat SMS dari seorang bernama Rangga. aku melihat nama di layar HPnya.
" Rangga siapa tuh tin?" aku kepo.
"Oh , ini pedekatean katanya sambil tersenyum"
" Namanya bangga?" aku heran.
" Iya" dia menjawab singkat karna terlalu fokus membalas SMS si Rangga yang katanya lagi pedekatean. Ughh. aku iri.
" Eh Tias, kamu ada kenal sama Geri? Ada ngeSMS kamu gak?" Degg, aku kaget. Kenapa dia bisa tahu nama Geri sih? Apa Geri yang dia maksud itu adalah Geri yang bulan lalu selalu mengirimiku SMS?
"Geri siapa sih Tin?" aku basa-basi.
" Ihhh, kamu. Aku ngasih nomor kamu sama temennya Rangga. Namanya Feri. Kamu tahu kan? " Blablablablabla. dia bercerita panjang lebar. Aku baru tahu, ternyata semua ini settingan. Ternyata...

Tenyata, saat itu Tina dan Rangga akan ketemu untuk pertama kalinya. Jadi Rangga yang katanya akan bertemu Tina saat itu membawa seorang teman, namanya Geri. Saat itu Rangga yang akan bertemu Tina tentu akan merasa kasihan melihat Geri yang merana sendirian tanpa seorang pun menemainya, dan dia hanya berteman sepi. Ah gak deng, becanda. Jadi intinya saat itu Rangga menanyai Tina apa dia punya seorang teman yang bisa dikenalkan dengan Geri. Dan, Tina merekomendasikan aku. Aku! Pantas saja seorang bernama Geri ini tiba-tiba mengirimiku SMS tanpa kutahu darimana asalnya. Karna setiap kali kutanya darimana dia tahu nomorku, dia berkata mungkin karna kami berjodoh atau jawaban-jawaban aneh lainnya seperti dia sengaja mengotak-atik nomor yang berantakan dan akhirnya mendapatkan nomorku. Sungguh tak masuk akal.

Sebulan berlalu, Geri semakin kerap mmengirimi aku SMS. Dan semakin kerap jugalah kami saling bertukar kabar. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk bertemu. Untuk pertama kalinya seumur hidup aku memasuki fase KETEMUAN. Aneh, aku baru memasuki fase ini, sedangkan teman-teman SMP ku berulang kali melakukannya. Aku tergedik. Lucu.

Jujur di usiaku yang menginjak kelas 1 SMA saat itu, bertemu Geri adalah ketemuan pertamakali yang akan kulakukan seumur hidupku. Aku belum pernah bertemu seorang lelaki dengan niat untuk berkenalan lebih dekat sebelumnya. Sungguh saat itu darah panas mengisi penuh otak dan kepalaku. Aku tak bisa tenang dan kegugupan yang hakiki mengisi seluruh badanku.

Aku tak percaya aku tiba di masa itu, masa dimana aku akan bertemu dengan seorang laki-laki yang sebelumnya bahkan tak pernah kuajak bicara atau bahkan melihat wajahnya secara langsung. Aku gugup. Tapi senang. dalam hati aku berfikir, sudah saatnya aku keluar dari zona nyaman, dan hidup baruku dimulai.

Aku berhenti dengan cerita-cerita bodoh yang dulu sempat kurangkai tentang Martin dan aku muak dengan cinta fantasi itu. Masih tak menyangka saat itu aku akan bertemu dan berbicara dengan laki-laki untuk pertama kalinya, aku akhirnya demam. Hufff...

Cinta monyet-kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang