PROLOG: TAMAN

25 3 0
                                    




"Gimana? Mau?"

"Ya paling lama tiga hari," lanjut seorang pria dengan nada datar.


Suasana menjadi sunyi, tidak ada suara sedikitpun, bahkan suara angin terdengar riuh. Berlalu lalang di antara gelapnya malam. Pepohonan saling berhadapan. Membentuk kanopi di antara kursi taman dengan anak Adam dan Hawa yang masih saling berhadapan di atasnya. Duduk tenang dengan kedua mata yang saling menatap lembut satu sama lain, terasa nyaman. Di atas meja taman, minuman dingin dengan bola-bola hitam yang terbuat dari gula aren hadir menemani dinginnya malam, terasa kurang logis, tapi itulah faktanya. 


Hari semakin malam, namun mereka masih dengan posisi yang sama semenjak kedua kalimat itu keluar dari mulut pria dengan kuncir yang menempel pada rambut gondrong sebahu. Pria yang kini tepat berada di depannya. Pria dengan kedua tangan yang saling mengepal, kemudian bersatu membentuk segitiga di atas meja. Sementara itu, dagunya berada tepat di atas kedua tangan yang menyatu sambil tetap mempertahankan tatapan sendunya. Berusaha agar tidak membuat lawan bicaranya terintimidasi.


Perempuan itu masih tidak memberikan respon. Dia masih diam sembari memalingkan wajahnya ke arah kanan. Menatap beberapa bunga kuning yang tertanam di atas hamparan rumput teki, menampilkan warna hijau kekuningan saat terkena cahaya dari lampu taman.


Sudah hampir setengah jam mereka nyaman dalam diam bersama hembusan angin yang semakin menjadi-jadi. Malam semakin gelap di sertai kendaraan yang mulai sepi berlalu lalang. Waktu sudah menunjukkan tepat 10 malam, namun pria itu masih belum mendapatkan jawaban setelah rangkaian bujukan yang telah dilontarkan dari pagi hingga malam. Di setiap pertemuan, mereka sempatkan berbicara tentang topik yang akan membuat perempuan itu diam, terbujur kaku seperti bongkahan es Antartika yang keras. 


"Aku pikir-pikir dulu, ya." Kalimat yang selalu dia ungkapkan untuk mengakhiri pembicaraan mendaki, gunung, dan juga Edelweis. Ya, Edelweis, bunga keabadian. Bunga yang juga tersematkan di dalam nama perempuan itu, Ranti Edelweis Pramudia. Walaupun sudah menjadi satu kesatuan dengan bunga itu, Ranti masih belum pernah melihatnya secara langsung, bahkan menginjakkan kaki di mana bunga itu tumbuh saja dia belum pernah. Dia hanya bisa mengamatinya lewat foto yang memenuhi media sosial Tik-Tok dengan rangkaian jedak-jeduk dari para pendaki. Versi yang lebih kalem mungkin dengan menyematkan bunga itu dengan lagu "Rahasia hati" karya Nidji yang juga menjadi soundtrack pada film 5cm. Sebuah film yang juga menceritakan tentang pendakian para lima sahabat. 

Ranti memang dikenal sebagai anak yang tidak memiliki minat terhadap alam, berbeda dengan pria yang berada di depannya. Dia adalah sang penjelajah dengan segudang pengalaman yang telah mewarnai sebagian hidupnya. Ya, laki-laki memang diharuskan seperti itu, bukan?

Hendi Admajaya, mahasiswa teknik elektro di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta. "Admajaya" nama yang lebih mirip nama perguruan tinggi dari pada nama manusia. Entahlah, sampai saat ini dia juga tidak tahu dari mana ide gila itu muncul dan melekat pada identitasnya. Hendi adalah mahasiswa yang biasa-biasa saja, khususnya di kalangan para mahasiswa sepantarannya. Kehidupannya pun biasa-biasa saja, tidak ada yang menarik sedikitpun, walaupun "menjelajah alam" adalah hobby yang juga menarik dan bisa diceritakan, bukan? katanya sepi itu harus dibunuh dengan menjelajah. Setiap merasakan sepi dia akan pergi ke gunung terdekat, mendakinya, lalu kembali menjalani aktivitas layaknya mahasiswa semester 4, mahasiswa setengah tua. 


Perempuan yang berada tepat di depannya adalah Ranti Edelweis Pramudia, mahasiswi kedokteran yang lebih muda satu angkatan dari dirinya. Lahir dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya seorang dosen di salah satu universitas terkemuka di Jogja, begitupula dengan Ibunya. Lahir di keluarga akademisi menjadi impian banyak orang, kecuali dirinya. Hidupnya hanya dikelilingi impian, cita-cita, dan ambisi untuk menjadi seseorang yang lebih baik dari orang tuanya. 


"Nduk, masuk FK ya,"

"Nduk, nanti jadi dosen ya," dan lain sebagainya. 


Ambisi orang tua memang telah tertanam sejak masih kecil, hingga dia tidak bisa menikmati apa yang dinamakan dengan "Hidup". Dunianya hanya sebatas belajar, buku, dan artikel-artikel ilmiah yang tidak relevan dengan keinginannya. Dia ingin bebas, hidup layaknya burung-burung yang terbang bebas di udara, atau ikan-ikan yang berenang melintasi samudera. Sayangnya, semua itu hanya angan yang bisa dia ciptakan di kepala kecilnya. Hidupnya terasa membosankan dan hanya berputar pada tempat yang sama, terutama ketika dia belum mengenal Hendi Admajaya. 


Pria itu kini memalingkan wajahnya, mengubah posisi duduknya. Kakinya kini mulai jatuh di sepanjang kursi taman, lurus. Kedua tangannya berusaha menggapai ujung kaki, meregangkan jari-jari kaki lentik yang hampir mirip perempuan itu. Hingga tidak berselang lama, suara perempuan terdengar pelan. Suara nyaman yang berhasil menarik tengkuk lehernya hingga pandangannya ke arah perempuan yang berada tepat di hadapannya.


"Iya,"

"Kita ke sana," ujar perempuan itu seraya tersenyum lembut. Menampilkan dua cekungan pada pipi kanan dan kirinya. 

Anaphalis Javanica: Mengapa "Keabadian" hanya ditujukan untuk sebuah bunga?Where stories live. Discover now