Borgo San Dalmazzo

114 19 1
                                    

Pagi ini matahari cukup menyorot kota kecil ini, namun angin sisa musim dingin masih menyejukkan. Sehingga manusia takkan khawatir dengan sengatan matahari diatas.

Musim panen juga telah selesai kemarin, hari ini pekerja kebun memulai musim tanam dan bercocok tanam. Tak ada yang bersantai, bahkan sejak tadi Renjun serrta adiknya Chenle telah berjalan ribuan langkah.

Ada sebuah ruangan terbuka yang menampilkan meja-meja panjang terjejer rapi. Ini tempat pekerja kebuh beristirahat, makan, dan bersenda gurau. Sejak tadi Renjun mulai membantu memasak untuk menu makan siang.

Terlihat Chenle membawa beberapa keranjang buah blue berry yang cantik, itu akan menjadi bahan pie untuk makan siang nanti.

Tiba-tiba wanita berambut pirang, Orish berlari menuju Renjun dan Chenle berada.

"Renjun gawat, investor itu kembali lagi. Dan ia membawa orang kota lain". Renjun yang mendengar itu hanya menghela nafas panjang.

"Ayo Chenle. Beritahukan yang lain untuk makam siang terlebih dahulu jika kami lama Orish".

Renjun dan Chenle berjalan menuju gerbang utama wilayah pekerbunan. Disana terlihat laki-laki berwajah asing dan anak buahnya yang sedang menunggu. Tubuhnya tegap dan berwajah tegas.

"Mencari saya tuan?". Renjun bertanya tanpa basa basi.

Jaemin membuka kacamata hitamnya. Ia terdiam sejenak sembari memandang dua manusia dihadapannya.

Ia terpaku memandang dua laki-laki yang memiliki wajah seputih susu dan manis. Tak pernah ia jumpai wajah semenawan ini selama ia hidup di Italia.

Chenle mengankat alis sebelahnya. "Tuan? Kami bertanya padamu".

Jaemin tersadar dan batuk kecil untuk mengurangi rasa canggung nya. "Ya, aku sekertaris direktur utama"

"Aku ingin mengajak kalian sedikit berdiskusi tentang tan-"

"Diskusi telah kita lakukan sejak dulu tuan terhormat. Dan jawaban kami tetap sama, kami menolak". Renjun memotong ucapan Jaemin dengan tegas.

"Kami akan memberi harga yang tinggi, bahk-"

"Tuan tidak tuli dan aku yakin tak mungkin bodoh dengan jawaban kami sejak dulu. Ini wilayah leluhur kami bahkan warisan keluarga kami. Atas nama kami juga. Tuan tak punya hak untuk memaksa". Chenle memotong kembali ucapan Jaemin.

"Sebaiknya anda kembali dan pilih wilayah lain. Kami takkan memberikan tanah ini".

"Hei, tapi aku berbicara dengan baik-baik. Tidak sopan sekali kalian memotong ucapan ku". Jaemin membalas dengan jengkel

Chenle maju berhadapan dengan dengan Jaemin, tinggi mereka yang tak seimbang membuat Chenle sedikit mendongak.

"Tuan kota yang terhormat. Pembahasan ini telah terjadi sejak dua tahun lalu, dan kau masih menganggap ini pembicaraan yang baik baik?"

Jaemij tersenyum kecil memandang paras cantik laki-laki di depannya. "Baiklah, tapi sebagai gantinya aku ingin waktu mu hari ini. Bagaimana?"

Chenle memundurkan badannya, memandang Jaemin heran. Jaemin memiringkan kepalanya untuk memandang Renjun yang berada di belakang Chenle. "Aku takkan membahas tentang tanah itu lagi, tapi sebagai gantinya.."

Ia kembali menatap Chenle dengan senyumnya. "Aku meminta waktumu untuk mengobrol ".

Renjun menarik adiknya mundur. "Jangan macam-macam dengan adikku. Anda sebaiknya pergi".

Renjun berbalik arah dengan tangan yang masih menggenggam Chenle.

"Aku akan tetap meminta mu untuk menjual tanah ini jika kau tak setuju dengan opsi kedua ku tadi". Renjun dan Chenle berhenti.

A Drop Of Thick Red Wine (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang