19. Mati

1.2K 155 50
                                    

Sudah satu bulan berlalu sejak tragedi yang mengubah hidup Ahyeon. Mimpi buruk itu bukan lagi sekadar bayangan, melainkan kenyataan yang terus menghantuinya. Namun, esok adalah hari yang telah lama ia nantikan. 

Finally, ia akan segera berangkat ke Jepang. 

Orang tuanya tidak pernah tahu apa yang sudah terjadi malam itu. Para sahabatnya sepakat untuk merahasiakannya, menjaga luka yang seharusnya tetap tersembunyi. 

Sejak kejadian itu, Ahyeon mengalami trauma besar. Setiap kali ia bertemu orang baru, hal itu dapat membuatnya merasa cemas, bahkan terkadang ia merasa sulit bernapas di tengah keramaian. Namun, secara diam-diam, selama satu bulan terakhir, ia rutin menjalani konseling dengan seorang psikolog. Setidaknya dua kali dalam sepekan, Ahyeon menjalani terapi medis dengan seorang profesional untuk menghadapi gangguan kecemasannya. 

Aurora selalu setia mengantarnya. Gadis itu tidak pernah absen menemani setiap sesi konseling Ahyeon. Setelah malam mengerikan itu, hubungan mereka semakin dekat. Meskipun Aurora tetap tidak memiliki filter dalam berbicara, setidaknya sikapnya kini jauh lebih lembut terhadap Ahyeon. 

Entah sejak kapan, kehadiran Aurora mulai terasa nyaman bagi Ahyeon. Mungkin karena Asa lebih sering mengunjungi rumah Chiquita belakangan ini dibanding rumahnya sendiri. Ahyeon sempat protes, tapi jawaban Asa membuatnya tak bisa berkata-kata lagi. 

"Waktu kita akan lebih banyak nanti di Jepang. Tapi dengan Chiquita, waktuku hanya tinggal beberapa minggu saja. Kamu nggak perlu khawatir, kamu akan mendapatkan waktuku sepenuhnya nanti setelah kita berada di Jepang, arraseo?"

Menyebalkan. Ahyeon hanya bisa mencebik kesal saat mendengar itu. 

Tok tok tok~

"Ahyeon, sayang... ini Mommy," suara lembut Jennie terdengar dari luar pintu kamar. 

"Ya, Mom! Tunggu sebentar," sahut Ahyeon, berlari kecil ke arah pintu. Saat ini, ia sedang sibuk menata pakaian ke dalam koper. Begitu pintu terbuka, ia langsung menarik Jennie masuk. 

"Ayo masuk, Mom! Bantu aku, dong. Aku bener-bener kesulitan dan bingung harus bawa apa aja," rengeknya manja. 

Jennie tersenyum hangat, mengusap puncak kepala putrinya. "Itu sebabnya Mommy datang ke sini, Sayang. Sekarang tunjukkan, apa saja yang sudah kamu siapkan?" tanyanya lembut. 

Ahyeon mendesah kecil. "Baru beberapa pakaian aja, Mom." Dengan ekspresi putus asa, ia memeluk pinggang Jennie dan memajukan bibirnya. Urusan packing selalu menjadi hal yang paling ia benci. Setiap kali harus bepergian jauh, Jennie lah yang selalu menyiapkan segalanya untuknya. 

Jennie terkekeh kecil, merasa gemas dengan kelakuan putrinya. "Kumpulkan saja barang-barang yang ingin kamu bawa. Nanti Mommy yang akan merapikannya ke dalam koper. Setelah itu, kamu istirahat. Jangan terlalu lelah, besok pagi-pagi sekali kamu sudah harus sampai di bandara," ujarnya lembut. 

Ahyeon mengangguk patuh. Ia mulai mengumpulkan pakaian dan barang-barang yang akan dibawanya. Tidak banyak, hanya barang-barang yang benar-benar penting. Ia membawa dua koper, sisanya, jika ada yang tertinggal, bisa ia beli nanti di Jepang. 

Hampir satu jam berlalu, dan akhirnya semua barang tersusun rapi di dalam koper berkat sentuhan tangan Jennie. Ahyeon tersenyum lebar, puas melihat hasilnya. 

"Terima kasih, Mommy," ucapnya penuh rasa sayang. Ia memeluk ibunya erat, lalu mengecup kedua pipi Jennie berkali-kali. 

Jennie tertawa kecil, lalu balas mencium pipi Ahyeon. "Dengan senang hati, Sayang." 

Setelah itu, Jennie menangkup wajah putrinya dengan lembut. "Mommy tinggal sebentar ya, sayang. Daddy minta ditemani makan siang di kantornya," ujarnya. 

Lowkey.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang