4

77 9 1
                                    

Setelah Kim Bum pergi dari kafe itu, So Eun duduk diam di tempatnya, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilalui oleh pria yang masih mengisi hatinya. Ia merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, dan akhirnya tanpa bisa ditahan lagi, butiran air mata jatuh membasahi pipinya. Hatinya terasa begitu berat. Setiap kata yang terucap dari mulut Kim Bum tadi seolah menambah beban yang sudah terlalu berat untuk dipikulnya.

"So Eun, apa yang kau lakukan?" gumamnya pada diri sendiri, berusaha menahan isak tangis yang semakin keras. Ia mencintai Kim Bum, itu adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa diingkari. Namun, ia juga tahu bahwa keadaan tidak memihak pada cinta mereka.

So Eun mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba menenangkan diri. Tapi, pikiran tentang pertunangan yang sudah ditetapkan semakin membuat hatinya tertekan. Namun, demi ayahnya yang sedang sakit, ia merasa tak punya pilihan lain.

Tiba-tiba, dering telepon membuyarkan lamunan So Eun. Ia segera mengangkatnya dan mendapati panggilan dari rumah sakit. Suara seorang perawat di ujung sana mengabarkan bahwa ayahnya sempat drop tadi, meskipun kondisinya sekarang sudah lebih stabil.

"aku akan segera ke sana," kata So Eun dengan suara bergetar, mencoba menahan kepanikan yang tiba-tiba menyergapnya. Ia segera berdiri, menghapus air matanya dengan cepat, lalu bergegas keluar dari kafe itu.

Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu panjang bagi So Eun. Setiap langkahnya terasa berat, seolah dunia ini tiba-tiba mengecil dan semua harapannya terhimpit dalam ruang yang sempit. Ketika ia akhirnya tiba di rumah sakit, ia langsung menuju ruang perawatan ayahnya.

"Ayah," panggil So Eun pelan ketika ia masuk ke dalam ruangan. Wajah ayahnya terlihat lelah, tapi ada senyuman kecil yang menghiasi wajahnya ketika melihat So Eun.

"So Eun-ah, duduklah," ucap ayahnya dengan suara pelan. So Eun menurut dan duduk di kursi di samping tempat tidur. "Aku ingin kita segera mengadakan pertemuan keluarga dengan keluarga Min Hoo. Aku tidak ingin menunda-nunda lagi."

So Eun menunduk, perasaannya bercampur aduk. "Ayah, apakah tidak bisa kita menunggu sedikit lebih lama? Mungkin... setelah kondisi Ayah membaik."

"Aku tahu kamu khawatir, tapi kita tidak punya banyak waktu, So Eun," jawab ayahnya sambil menggenggam tangan putrinya itu. "Aku ingin melihatmu bahagia sebelum... sebelum segalanya terlambat."

So Eun merasakan dadanya sesak. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa kebahagiaannya tidak terletak pada perjodohan ini. Namun, melihat ayahnya yang begitu lemah, ia tidak memiliki kekuatan untuk menolaknya. Apalagi, dengan ibunya yang sibuk dengan perusahaan di Amerika, So Eun merasa sendirian menghadapi semua ini.

"Aku mengerti," ucap So Eun dengan suara hampir tidak terdengar. "Aku akan berbicara dengan keluarga Min Hoo dan mengatur pertemuan keluarga."

Ayahnya tersenyum lega, meski senyum itu tidak sepenuhnya menghilangkan kekhawatiran di hatinya. "Terima kasih, So Eun. Kau anak yang baik. Aku tahu kau akan membuat keputusan yang benar."

So Eun hanya bisa tersenyum lemah, berusaha menahan tangisnya. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada ayahnya dan meninggalkan rumah sakit, So Eun merasakan beban di pundaknya semakin berat. Langkahnya terasa semakin lambat, seolah setiap jejaknya semakin menenggelamkannya dalam kenyataan yang pahit.

—————

Malam itu, setelah pertemuan dengan So Eun, Kim Bum merasa pikirannya kalut dan hatinya kacau balau. Tak tahu harus ke mana, ia akhirnya melangkah tanpa tujuan hingga tiba di sebuah tenda kecil di pinggir jalan yang menjual soju. Tanpa ragu, Kim Bum memasuki tenda tersebut dan duduk di salah satu bangku kayu yang usang. Ia memesan beberapa botol soju dan segera mulai meminumnya, berharap alkohol dapat meredakan kekacauan di dalam hatinya.

Glimpse of Us: She and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang