"Rasa khawatir itu muncul karena adanya rasa sayang."
°°°
Silau matahari sore perlahan mulai menghilang dari sela-sela jendela kamar dari pemuda ini. Dengan nyawa baru terkumpul, mata yang masih terbuka sebelah menatap ke arah ke jendela di dekat pintu masuk kamarnya. Langit saat ini berwarna hitam keabu-abuan.Tangannya bergerak mengambil ponsel yang dia letakkan di samping telinganya. Dia mengecek jam pada ponselnya, menunjukkan pukul enam. Matanya mendelik setelah mengetahui jika jam di ponselnya pukul enam. Bisa-bisanya dia masih tertidur, padahal hari ini dia harus berangkat ke sekolah.
Buru-buru dia bangun dari kasurnya dengan perasaan gelisah. Saat dia berhasil berdiri, kepalanya kliyengan. Hingga dia memilih untuk diam sejenak, mungkin perlahan-lahan sakitnya akan berkurang.
Setelah rasa pusingnya sedikit berkurang, dia mulai berjalan pelan menuju saklar lampu di samping pintu masuk. Karena kondisi kamarnya saat ini cukup gelap, sehingga dia sulit melihat sekelilingnya. Dia pun menekan saklar tersebut ke bawah, hingga cahaya putih mulai menyinari seluruh isi kamarnya.
Terdengar suara langkahan kaki dari luar kamarnya, dia pun segera keluar dari kamarnya. Mungkin itu teman-temannya yang menjemputnya, karena sebentar lagi dia akan berangkat sekolah.
Ceklek!
Pintu terbuka, menampilkan dua orang dengan dua tangan dipenuhi kantong plastik agak besar. Mereka, Bambang dan Johan.
"Kalian nggak sekolah hari ini?" Danda mengerutkan keningnya menatap keheranan balik pada mereka.
"Ngelindur nih anak. Ini masih malem, lo mau sekolah dimana? Sekolah udah tutup juga." Balas Bambang.
"Masa? Bukannya sekarang jam enam pagi?" tanya Danda memastikan.
Keduanya tertawa karena pertanyaan barusan. "Kebanyakan baca buku, jadi kepikirannya sekolah mulu," ledek Bambang.
"Sekarang jam setengah tujuh malem. Barusan itu adzan maghrib, bukan adzan subuh." Imbuh Johan. Dia tak tega melihat bagaimana wajah linglung sahabatnya saat ini.
"Tadi gue mau ngajakin lo beli cilok di pasar, tapi pas gue cek, lo lagi ngorok. Yaudah, gue sama Johan aja." Bambang kembali berkata, untuk mengembalikan separuh ingatan Danda yang hilang akibat lamanya dia tidur.
Danda mengingat-ingat kembali akan ingatanya sebelum dia menempatkan diri di atas kasur kala sore itu.
Akhirnya Danda ingat, sebelum dia memejamkan matanya, dia membaca buku-buku olimpiade pemberian dari Bu Sarah. Mungkin karena terlalu fokus membaca, dia tak menyadari jika matanya perlahan-lahan mulai lelah dan memilih untuk mengistirahatkan matanya sejenak.
Namun, dia tak menyangka jika mengistirahatkan matanya hingga langit yang berwarna biru muda berganti warna hitam keabu-abuan.
"Lo belum mandi?" tanya Bambang dengan menatap pakaian yang dikenakan oleh Danda, yaitu seragam cokelat pramuka. "Belum," jawab Danda dengan separuh nyawa yang baru saja kembali.
"Mandi dulu deh lo, habis itu ke ruang santai. Mami ngasih duit buat beli cilok di pasar." Kata Bambang seraya menunjukkan beberapa bungkus plastik yang di dalamnya terdapat cilok diselimuti merahnya saos dan hitamnya kecap.
"Iya, bentar lagi nyusul."
"Yaudah, gue sama Johan duluan ke ruang santai." Danda hanya membalas dengan anggukan kecil.
°^°
Kali ini tontonan yang mereka lihat bukanlah cerita-cerita horor yang sering mereka tonton bareng, melainkan melihat Tanboy Kun mukbang kepiting raksasa. Mereka sudah trauma dengan tontonan favoritnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAMPOERNA
Teen FictionDanda Surya Atmaja, remaja yang selalu membuat ulah di kampungnya, terpaksa harus pindah ke kost-kostan yang jauh dari tempat tinggalnya. Lantaran sebuah kejadian kelam, yang memaksanya untuk pergi jauh demi menyembuhkan lukanya dan untuk memulai le...