Pagi itu, sekolah seperti biasanya dipenuhi dengan hiruk-pikuk para siswa yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Namun, ada satu hal yang selalu menjadi perhatian banyak orang—Jaemin dan Jeno. Keduanya selalu tampak bersama, seolah tak terpisahkan, dan hubungan mereka sering kali menjadi topik pembicaraan di kalangan siswa.Jaemin, dengan senyum lembutnya dan kepribadian yang ramah, selalu menarik perhatian. Sementara itu, Jeno, dengan sikap yang sedikit lebih pendiam namun hangat, tampak seperti pelengkap sempurna bagi Jaemin. Keduanya sudah lama dikenal sebagai sahabat dekat, tetapi belakangan ini, ada sesuatu yang berubah. Orang-orang mulai menyadari bahwa hubungan mereka mungkin lebih dari sekedar persahabatan.
Di balik senyumnya yang menawan, Jaemin mulai merasakan sesuatu yang asing—perasaan cemburu yang perlahan merambat di hatinya setiap kali ia melihat Jeno bersama orang lain, terutama Mark. Mark, siswa dari kelas lain yang sering menghabiskan waktu dengan Jeno belakangan ini, tampak seperti ancaman yang tidak disadari oleh Jeno. Meskipun Jaemin tidak ingin mengakui perasaannya secara terang-terangan, tapi semakin hari, semakin jelas baginya bahwa dia tidak ingin berbagi Jeno dengan siapapun.
Siang itu, Jaemin sedang duduk di kantin, menunggu Jeno yang sedang membeli makanan. Kantin ramai seperti biasanya, tetapi suasana hati Jaemin terasa berbeda. Ada kecemasan yang terus menghantuinya, membuatnya sulit menikmati waktu sendirinya. Sambil menunggu, Jaemin merasa ada yang mengamatinya. Ketika ia menoleh, ia melihat Mark melangkah mendekati Jaemin dengan senyum tipis di wajahnya.
“Hey, Jaemin. Bisa ngobrol sebentar?” tanya Mark, suaranya terdengar santai tapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
Jaemin mengangkat alisnya, merasa ada yang janggal, tapi dia tetap mengangguk. "Tentu, ada apa?"
Mark menarik napas dalam sebelum berbicara. "Aku nggak mau bikin ini jadi rumit, tapi aku cuma mau bilang kalau Jeno... dia lebih dekat sama aku."
Jaemin menatap Mark dengan bingung. "Apa maksudmu?"
Mark menyandarkan tubuhnya pada kursi di seberang Jaemin, matanya menatap lurus ke arah Jaemin. "Aku tahu kau dan Jeno sudah lama berteman, tapi akhir-akhir ini dia sering menghabiskan waktu dengan aku. Aku cuma mau bilang, mungkin kau perlu beri dia ruang."
Kata-kata Mark menggema di kepala Jaemin. Dia tahu Jeno memang sering menghabiskan waktu dengan Mark belakangan ini, tapi Jaemin tak pernah menganggap itu sebagai ancaman. Dia yakin pada hubungannya dengan Jeno, tapi mendengar Mark bicara seperti ini membuatnya sedikit goyah. Rasanya ada sesuatu yang mendidih di dalam dirinya, perasaan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Sebelum Jaemin sempat menjawab, Jeno muncul dengan membawa nampan berisi makanan. Dia terlihat bingung melihat Mark duduk di meja mereka.
"Hei, ada apa di sini?" tanya Jeno sambil meletakkan nampan di meja.
Mark tersenyum pada Jeno, lalu kembali menatap Jaemin. "Aku cuma ngobrol sama Jaemin. Nggak ada yang penting."
Jeno melihat ke arah Jaemin, mencari jawaban. Namun, Jaemin hanya tersenyum tipis, meskipun ada sedikit kekhawatiran yang tertinggal di sudut matanya.
“Baiklah, aku pergi dulu,” ujar Mark sambil berdiri, lalu menepuk bahu Jeno. “Jangan lupa nanti kita ketemu lagi, ya.”
Setelah Mark pergi, Jeno duduk di samping Jaemin, matanya menyelidik. "Apa yang dia bilang padamu?"
Jaemin menggeleng pelan, mencoba mengusir keraguan dari pikirannya. "Nggak ada yang penting. Dia cuma bilang kalian sering menghabiskan waktu bersama akhir-akhir ini."
Jeno menatap Jaemin lebih dalam, seolah-olah mencoba membaca pikiran Jaemin. "Kau tahu, Jaemin, nggak ada yang berubah di antara kita, kan? Mark cuma teman. Kau tetap yang paling penting buatku."