Chapter 1

381 43 11
                                    

“Time flows in the same way for all human beings; every human being flows through time in a different way.”
—Yasunari Kawabata—

Tokyo, August 1930
Aroma tembakau menyeruak kendati Takahashi Jiro mengepulkan asap rokoknya di tempat terbuka. Punggungnya bersandar ke tembok bar, sementara pandangannya berpendar mengawasi langkah orang-orang yang berlalu-lalang di sekitaran Ginza. Pria akan mengenakan jas, sementara para wanita tidak lagi keluar dengan kimono mereka karena itu simbol modernitas. Orang-orang Jepang, khususnya Tokyo, terobsesi dengan ide modernitas barat bahkan sejak restorasi Meiji beberapa dekade silam. Bangsa yang dulu begitu tertutup, hanya dalam beberapa dekade, berubah menjadi salah satu negara paling kuat yang terlibat dalam terlalu banyak perang.

Kaisar Showa yang baru dinobatkan sebagai pemimpin tertinggi kekaisaran empat tahu lalu bahkan mungkin lebih buruk daripada pendahulunya. Orang-orang Jepang percaya kalau mereka lebih baik daripada bangsa lainnya di Asia. Bahkan mereka menyebut orang-orang Chosen sebagai ‘anjing’ atau ‘monyet’. Tidak semua orang Jepang berlaku seperti itu—setidaknya lebih dari setengah temannya di Tokyo Imperial University masih tahu caranya memanusiakan manusia.

Jiro tidak menyukai politik. Dan dia tidak menyukai Kaisar Showa. Tapi jika para petinggi Showa sampai mendengar kalau putra tertua Keluarga Takahashi mengatakan hal tersebut, hidupnya sekeluarga akan berakhir mengenaskan. Keluarga bangsawan adalah sahabat kekaisaran—itu yang selalu kakeknya katakan bahkan sebelum dirinya wafat karena pneumonia dua tahun lalu.

“Monyet jalang tidak tahu diri!”

Suara pria yang terdengar tinggi-melengking itu merebut fokus Jiro. Ekor matanya melihat seorang perempuan muda diseret keluar dari dalam bar, kemudian didorong ke jalanan yang basah karena hujan. Rambut hitamnya terurai berantakan dan bagian atas kimononya sedikit terbuka—menampilkan pundak kurus yang tampak mulus. Kendati sekarang wajahnya tertunduk, Jiro sempat melihat sorot mata si pelacur yang tampak tajam dan dipenuhi kebencian. Wanita Chosen di depannya ini punya harga diri yang tinggi.

“Mau berapa kali kau menolak pelanggan seperti itu? Kau itu hanya Chosen rendahan! Kalau tidak mau bekerja, sebaiknya kau membunuh dirimu sendiri saja!” kata-kata itu sangat kasar; dan Jiro bahkan tidak bisa mendeskripsikan seberapa buruknya ekspresi pria paruh baya tersebut.

Pria pemilik bar hampir melayangkan tendangan ketika Jiro mematikan rokok dan meraih pundaknya tiba-tiba. Refleks pria itu mengeluarkan setumpuk umpatan—sebelum menunduk penuh penyesalan sejurus kemudian. Takahashi Jiro adalah pria yang dihormati—termasuk oleh sejumlah orang bermoral rapuh yang bertahan hidup dengan menjual kehormatan manusia lain.

“Perempuan itu… dia punyaku,” ucap Jiro pada pemilik bar. “Aku bertemu dengannya sore kemarin. Dia bilang malam ini akan menemuiku. Pantas dia tidak datang ke tempat yang sudah dijanjikan, rupanya kau menahannya untuk datang. Ini bayarannya—simpan dua sen kembaliannya untuk membeli makan. Jangan minum, kau bau arak.”

Tanpa diperintah, perempuan itu berdiri dan berjalan di belakang Jiro. Dia bahkan tidak bertanya ke mana mereka akan pergi. Kaki kurusnya terus bergerak dengan patuh dan sedikit tegopoh-gopoh, sementara pandangannya membentur punggung Jiro yang kokoh.

“Jadi sampai kapan kau mau mengikutiku, Nona?” ucap Jiro pada akhirnya. Dia berbalik, lalu menyalakan rokok yang kembali mengepul di ujung jalan yang penuh-sesak. Salah satu tangannya disimpan di saku—seolah mengisyaratkan keengganan untuk terlibat lebih jauh dengan hidup perempuan itu.

“Anda tidak mau menggunakanku, Tuan?”

Bahasanya vulgar. Dia tahu bagaimana caranya bersikap sopan, tapi bahasanya vulgar. Ada yang janggal dari caranya bicara Bahasa Jepang—dapat dipahami karena dia memang bukan warga asli di sini. Dia seorang perempuan Chosen—mungkin diculik karena punya rupa yang kelampau rupawan. Orang-orang Jepang lemah terhadap wanita cantik. Tapi rasa superioritas sebagai bangsa ‘paling baik’ di Asia membuat mereka enggan memanusiakan orang-orang Chosen.

With a Broken LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang