Chapter 2

369 48 6
                                    

Let me know if you guys have been here, please.

Boleh komen juga. But be kind. Hehehe

Enjoy~~~

❄️
❄️
❄️

“There is no such thing as a stereotype bad man in this world. Under normal conditions, everybody is more or less good, or, at least, ordinary. But tempt them, and they may suddenly change. That is what is so frightening about men.”
—Natsume Soseki—

Nagoya, July 1934
Dilabeli sebagai ‘anak jenius’ bahkan di hari pertamanya bekerja membuat Jiro merasa kalau orang-orang punya sedikit terlalu banyak ekspektasi kepada dirinya. Rekan kerjanya memang tak banyak menuntut, tapi secara jelas dia bisa mengukur betapa tinggi harapan yang ketua timnya punya dan itu terasa seperti sebuah tekanan. Jika mentalnya tidak cukup kuat, mungkin Jiro akan menyerah. Dan jika mimpinya tidak cukup tinggi pula, mungkin saat ini Jiro sudah mengemasi semua barang-barangnya dan pulang ke Kyoto. Tapi Jiro tidak pergi ke Berlin hanya untuk menyerah di ‘rumahnya’ sendiri. Mimpinya masih sama: dia akan membuat pesawat yang bisa membawa terbang banyak orang.

“Kau masih suka melamun di siang bolong begini, ya?” ucap Haruki, pria itu berdiri tepat di samping Jiro, kelihatan lelah dan agak kepayahan akibat bekerja terlalu keras.

Dari kursinya, Jiro hanya menoleh sesaat. Bibirnya menyunggingkan senyum—seolah mengindikasikan kalau semua stres yang diberikan ketua tim tidak memberi efek apapun padanya. Sambil melihat lembaran kertas di meja—serta duri ikan makarelJiro memberikan jawaban yang membuat kawannya mengerutkan kening. “Menurutmu, apa orang Amerika suka makan makarel? Para engineer Amerika membuat banyak pesawat tempur yang membawa ratusan bom di dalamnya. Itu mengerikan. Ada berapa ratus orang yang meninggal karenanya?”

“Itu pertanyaan aneh. Maksudku, makarel, kenapa kau peduli tentang hal itu?” kening Haruki masih berkerut sementara air mukanya seolah mencerminkan rasa frustasi akibat sejumlah prototype pesawat yang tidak pernah berhasil ketika diuji terbang. “Ngomong-omong, kau sudah menyelesaikan rancanganmu? Kau baru bergabung bulan lalu, tapi sepertinya Pak Ketua sudah memberimu sangat banyak pekerjaan. Si pendek itu memang kelihatan agak menyebalkan, tapi sebenarnya dia orang yang baik. Hanya saja, kau tahu, negara kita sepertinya akan segera terlibat dalam peperangan besar.”

“Kaisar akan membawa negara kita ke dalam babak baru penderitaan tak berkesudahan,” sahut Jiro diwarnai ironi dan bahkan setitik rasa ngeri. Dia bisa membayangkan bangunan hancur dan ribuan orang menjadi korban perang yang semakin menjadi.

“Negara miskin ini tetap tidak boleh kalah dalam perang,” tegas Haruki kedengaran seperti sebuah dalih yang menolak kenyataan.

“Kuharap begitu. Tapi ekonomi negara kita sedang tidak baik-baik saja. Semua dana digunakan untuk membiayai perang—sementara kasus kelaparan meningkat bukan hanya di satu tempat tapi di seluruh penjuru Jepang. Kemarin aku melihat seorang ibu dengan dua anak sedang menunggu suaminya pulang. Dia menggendong bayinya di punggung, sementara anak yang paling tua berdiri begitu rapat di samping ibunya. Kata penjual kue, mereka selalu berduri di situ setiap hari selama beberapa jam. Ketiganya kurus dan tampak sakit. Tapi ketika aku menawarkan makanan pada mereka, alih-alih menerima, mereka justru pergi dengan terburu-buru. Anak laki-laki itu berulang kali menoleh ke arahku. Dia kelaparan dan dia akan memakan kue yang kutawarkan kalau ibunya membiarkan.” Jiro menjelaskan dengan suara tenang yang tidak banyak menunjukan perubahan emosi.

With a Broken LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang