Kita adalah manusia yang diliputi oleh harapan. Harapan yang terkadang terasa seperti benang halus—terlihat kuat namun mudah terurai oleh kenyataan. Kirani, seperti banyak dari kita, mendambakan hidup sesuai keinginannya—siapa yang tidak ingin setiap harapan terwujud?
Dalam lamunannya, Kirani membayangkan kebahagiaan bersama keluarga, mendapatkan nilai terbaik di kampusnya, menemukan cinta sejati, dan kelak menjadi seorang ibu. Semua impian sederhana ini selalu menghantui pikirannya, seakan bersinar seperti bintang di langit malam, namun tetap jauh, hanya menjadi kilauan yang tak bisa digapai.
Namun, kenyataan sering kali menjadi badai yang menghancurkan harapan. Keluarga Kirani tak pernah benar-benar merasakan bahagia, terutama setelah kepergian ayahnya. Kehilangan itu membuatnya merasa seperti bayangan dalam cermin—cahaya yang ada hanya untuk menyakiti, tak pernah benar-benar menghangatkan.
Sejak ayahnya pergi, keluarganya seperti kapal tanpa kompas, terombang-ambing di lautan gelap tanpa arah. Kirani bertekad untuk mengubah nasib, menghapus kepedihan yang menggerogoti rumahnya. Meski tanpa kehadiran sang ayah, Kirani tidak ingin menyerah. Dia berharap ibunya dan saudara-saudaranya bisa menemukan kembali cahaya di tengah kegelapan yang menelan hidup mereka.
Namun, harapan sering kali tak berdaya menghadapi ego yang mengakar. Usaha Kirani terasa bagai menulis di atas air—semuanya menguap tanpa jejak. Keretakan dalam keluarganya seolah tak tertembus. Meski berusaha mengingatkan mereka bahwa egois hanya akan mendatangkan penyesalan, segala usaha Kirani terasa sia-sia.
Dia mendambakan kehidupan yang damai, seperti aliran sungai yang tenang, di mana suara lembut airnya bisa menenangkan jiwa. Kirani ingin merajut kembali hubungan yang telah retak, menyatukan keluarga yang tercerai-berai. Meski harapannya terasa seperti bayangan, ia terus berlari mengejar impian itu, berharap suatu hari cahaya akan mengusir kegelapan dari hidupnya.
***
“Kiran, kenapa diam saja? Mama minta kamu bersih-bersih, bukannya?” Suara Dina menggema, nadanya tajam, seperti ingin menembus kebisuan Kirani yang terbaring di sofa dengan mata terpejam.
Kirani membuka matanya perlahan, memperlihatkan kelelahan yang mendalam. “Udah, Ma,” jawabnya dengan suara nyaris tak terdengar, seolah beban hidupnya membuat setiap kata terasa berat. Hari Minggu, yang seharusnya jadi waktu istirahat, baginya justru terasa seperti tugas tanpa akhir. Pembantu yang biasanya membantu terpaksa absen karena suaminya sakit.
“Apa yang terjadi? Kamar abangmu itu masih berantakan!” nada tinggi Dina menyambar seperti petir, membuyarkan ketenangan sesaat yang dirasakan Kirani.
“Ma, aku sudah bersih-bersih. Kamar abang bau rokok, bikin Kiran sesak,” jawab Kirani sambil merenggangkan tubuhnya, merasa seperti burung dalam sangkar yang tidak pernah dibebaskan.
Dina berdecak kesal, tatapannya menghunus, menambah beban yang sudah berat di punggung Kirani. “Itu cuma alasan! Buruan bersihin!”
Dengan hati yang berat, Kirani mengiyakan, meski hatinya terasa semakin beku. “Iya, Ma, iya...”
Dia bangkit dari sofa, langkahnya terasa berat di bawah tatapan tajam ibunya. Seperti bayangan yang tak pernah meninggalkannya, tugas-tugas terus menumpuk, menekan dirinya tanpa henti.
Saat dia menaiki tangga, setiap langkah seakan menggiringnya ke dalam kegelapan yang lebih dalam. “Anak rasa budak,” pikirnya, getir. Ibunya sepertinya tidak melihat betapa lelahnya dia. Pagi tadi, Kirani sudah menyapu halaman, menyiram tanaman, mencuci mobil, motor, hingga sepeda adiknya. Itu semua setelah menyelesaikan tugas kuliah yang membuatnya kewalahan. Memasak, mengangkat galon, hingga mengganti gas—semuanya terasa menguras tenaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remaining Hope
RomanceDi tengah kekacauan akibat bencana yang mengguncang Jakarta, Darian harus segera membawa ibunya, Dina, dan adiknya, Kailo, ke rumah sakit terbaik di Baltimore. Dalam kondisi darurat ini, Darian mempercayakan adiknya, Kiran, kepada sahabatnya, Bima...