Siang ini, Soobin pergi keluar untuk mengurus beberapa keperluan, meninggalkan Yeonjun di rumah selama beberapa jam.
Yeonjun merasa sedikit gelisah dan tidak nyaman, bayinya menendang lebih sering dari biasanya. Ia berjalan mondar-mandir di sekitar rumah, mencoba mengalihkan perhatiannya dari pikiran dan perasaannya.
Ketika dia berjalan melewati kamar mandi, dia berhenti, tangannya tanpa sadar menyentuh perutnya. Bayi itu menendang lagi, mengingatkannya akan kehadirannya.
Dia melangkah ke kamar mandi, menutup pintu di belakangnya, dan bersandar di wastafel, pikirannya berputar-putar dan gelisah.
Saat Yeonjun berdiri di sana, menatap bayangannya di cermin, gelombang kebencian dan kemarahan melanda dirinya. Bayi ini, yang polos dan tak berdaya, masih menjadi bagian dari mantan suaminya, pengingat terus-menerus akan masa lalunya yang menyakitkan dan masa depan sulit yang dihadapinya.
Yeonjun mengatupkan giginya, tangannya mencengkeram tepi wastafel dengan sangat erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia ingin berteriak, menjerit, melepaskan semua emosi yang terpendam yang menggelegak di dalam dirinya.
Yeonjun kembali menatap cermin, matanya menelusuri perutnya yang membulat, bukti fisik keberadaan bayi ini. Ia merasa bersalah karena tidak mampu mencintai dan menerima kehidupan tak berdosa di dalam dirinya, dan rasa bersalah itu hanya menambah amarahnya.
Dia memejamkan matanya, napasnya tersengal-sengal, dadanya naik turun karena berusaha menahan air mata.
Yeonjun merasa bimbang antara mencintai dan membenci bayi ini, campuran antara rasa protektif dan kepahitan. Ia ingin merawatnya, mencintainya, tetapi ia tampaknya tidak dapat melupakan kenyataan bahwa bayi ini adalah bagian dari seorang pria yang telah menyebabkan begitu banyak rasa sakit dan luka padanya.
Setetes air mata mengalir di pipinya, lalu satu lagi, lalu satu lagi. Semakin keras ia berusaha menahan air matanya, semakin banyak air mata yang mengalir di wajahnya.
Yeonjun meluncur turun dari dinding, kakinya melemah, dan duduk di lantai keramik yang dingin, punggungnya menempel di dinding, tangannya memeluk perutnya. Bayi itu menendang lagi, seolah-olah bisa merasakan kekacauannya dan berusaha menenangkannya, tetapi itu hanya memperdalam penderitaannya.
Dia lelah, dia terluka, dia marah, dan dia tidak tahu bagaimana mengatasinya.
Yeonjun duduk di sana cukup lama, keheningan di rumah itu membuat pikirannya terasa semakin keras dan terus-menerus.
Akhirnya, ketukan di pintu kamar mandi memecah kesunyian, dan suara Soobin yang familiar memecah rasa mengasihani dirinya sendiri, sepertinya dia sudah pulang.
“Yeonjun-ah?kamu di dalam?Aku pulang.”
Yeonjun tersentak mendengar suara itu. Dia tidak menyangka soobin akan kembali secepat ini, dan dia belum siap menghadapinya, tidak dalam kondisi seperti ini, tidak dengan semua emosi yang campur aduk di dalam dirinya.
Soobin mengetuk pintu lagi, kali ini sedikit lebih keras.
“Yeonjun, sayang? Kau baik-baik saja? Bisakah kau membuka pintunya?”
Yeonjun duduk di sana selama semenit lagi, bimbang antara ingin bersembunyi dan ingin sekali membuka pintu. Bayi di dalam perut nya menendang lagi seolah berkata kepadanya "biarkan dia masuk."
Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, menguatkan diri. Ia menyeka air mata di pipinya dengan punggung tangannya dan dengan gemetar bangkit dari lantai, gerakannya lambat dan hati-hati karena kehamilannya.
Ia butuh beberapa detik untuk menenangkan diri sebelum berjalan ke pintu. Ia membuka kunci dan membukanya, menatap ekspresi khawatir Soobin.
Mata Soobin yang khawatir segera mengamati wajahnya, mengamati sisa-sisa air mata dan kemerahan di sekitar matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're the right partner || soobjun
Non-FictionYou and I met somewhere and it turned out you were my life partner.