IV. Caught in The Act

53 8 1
                                    

Mata tajam Azura menangkap tas kertas di dekat pintu, ekspresi cerianya tetap bertahan meski teman barunya terus menuntut penjelasan.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Azura sembari melangkah maju tanpa ragu, walau belum sepenuhnya memahami situasi. Sementara itu, Muca tetap tenang, mundur perlahan dengan sorot mata penuh perhitungan, menganalisis setiap gerakan.

Perlahan ekspresi Azura berubah, ia mulai merasa Muca ingin menguasai suasana dengan menyudutkannya. Namun, Azura bukan tipikal orang yang suka mengalah. Maka kini ia menatap tajam gadis itu dan ketika wajah Muca berubah gugup, tangan gadis itu menahan tubuhnya untuk tidak lagi bergerak.

"Kau dapat kiriman dari Profesor Aron." Suara gadis itu terlampau tenang, tetapi tiap katanya terdengar tegas. "Sudah dua kali aku sekamar dengan orang yang Profesor Aron bawa, tapi hanya kau yang mendapatkan perlakuan seperti ini. Isi tas kertas itu kardus ponsel."

Mata Azura melebar, merespon dengan antusias karena ini pertama kalinya ia memiliki benda itu. Namun, keberadaan Muca yang masih menatapnya serius membuatnya harus menahan rasa senang itu.

Ketika ia hendak melewati, tangannya ditarik keras. Muca memberikan tatapan mengintimidasi yang kuat. Seolah tertantang, Azura menghadap gadis itu.

"Apa?"

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa hubunganmu dengan Profesor Aron?" ulang Muca dengan sorot yang mulai menajam. Sepertinya ketenangan gadis itu mulai memudar.

Azura menarik tangannya dari cekalan Muca, tetapi itu tidak berhasil. Ia mendengkus, ingin sekali mendorong Muca hingga terjatuh karena ini sangat mengganggunya.

"Dia teman orang tuaku, puas?" Azura mengeraskan suara.

"Bohong," ketus Muca.

Mulai muak, Azura menghempas tangan Muca hingga badan gadis itu sedikit terdorong. "Kenapa aku harus berbohong! Lagi pula apa urusanmu?"

Muca merogoh cepat saku jaket Azura. Memampangkan ular hijau yang disembunyikan ke wajah Azura.

"Ini yang kau sebut tidak berbohong?" Alis Muca terangkat dengan nada suara yang mengolok karena menangkap basah dirinya.

"Hentikan!" Azura meraih ular itu, tetapi Muca meninggikan tangan menjauhkan dari jangkauan.

"Apa? Kau masih mengelak?" ujar Muca dengan wajah tenangnya, tetapi kata-kata gadis itu benar-benar menyudutkan.

Azura masih berusaha meraih, tetapi tangan Muca menahan tubuhnya. Melihat ular itu terombang-ambing membuat Azura cemas karena pikiran ular itu dapat terbaca oleh dirinya. Muca menggenggamnya terlalu kuat.

"Berikan padaku! Kau menyiksanya!" teriak Azura sudah kehabisan kesabaran.

Muca menaikkan dagu, matanya mulai menatap dengan angkuh. Berikutnya gadis itu tersenyum miring.

Azura bisa merasakan firasat tidak enak ketika melihatnya. Tatapan Muca terlihat dingin dan benar saja, gadis itu meremas ular itu hingga mati.

"Apa yang kau lakukan!!"

Azura mendorong keras tubuh Muca hingga terbentur tembok dan jatuh. Kemudian ia merampas paksa ular yang sudah lemas itu dalam genggaman Muca.

"Orang gila!!" teriak Azura sekali lagi dengan amarah yang memuncak. "Kau orang gila!" Matanya melotot sempurna, ada rasa perih dan pilu yang ia rasakan. Napasnya terengah karena sesak di dada. Perlahan matanya mulai berkaca-kaca, melihat teman kecil yang baru saja ia temui itu sudah tak bernyawa. Kemudian ia beranjak, meletakkan ular itu di atas ranjangnya.

"Kau harus bertanggung jawab!" pekik Azura setelah berbalik pada Muca yang perlahan berdiri, gadis itu memasang wajah tak bersalah.

"Itu hanya hewan."

CALLING OUT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang