VI. Main Course

56 12 40
                                    








Azura tak berani bergerak ketika diserang rasa panik yang luar biasa. Bulir keringat dari kepalanya mengalir melewati pelipis. Padahal angin sedang bertiup malam ini dan saat sirene berbunyi panjang tubuh Azura lantas berdiri. Kesempatan bagus, bibirnya tersenyum kala melihat para Arcas keluar gedung menuju sisi timur bangunan, tempat makan malam mereka. Dengan tenang ia melangkah mengikuti, menganggap seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Tanpa diketahui hanya Oscar yang menatap tajam tubuh Azura, sementara Leon dan Muca yang tidak tahu lebih merespon sirine.

Seperti bayangan Azura ketika ia sampai di ruang makan. Sudah banyak makanan ditata rapi dalam wadah berwarna silver dengan para penyaji yang memberikan satu per satu makanan ke piring mereka. Hari ini makanan yang mereka makan sama, nanti saat para voter sudah memilih akan terlihat perbedaan di antara mereka.

Kini Azura memindai pandangan, mencari kamera. Ruangan ini seluruhnya berwarna putih, walau terlihat bersih, tetapi rasanya seperti memberikan tekanan yang tidak nyaman saat melihatnya. Namun, itu bukan sesuatu yang harus ia khawatirkan. Fokusnya kali ini Ia akan memberikan penampilan terbaik yang bisa membuat para voter milihnya untuk didukung. Sekitar sepuluh kamera ia temukan, setelahnya ia menentukan arah langkah. Membuat gerakan sekarismatik mungkin saat berjalan. Walau ia berjalan sendiri, ia tak boleh terlihat menyedihkan.

Maka tatapan runcing itu terlihat tegas saat mendekati tempat pengambilan piring. Kepala tak menunduk sama sekali ketika ia berjalan dalam antrean. Matanya melihat situasi dengan gerakan lambat agar terlihat sedang menganalisis. Ia ingat setiap cuplikan dengan keterangan yang menjelaskan apa saja yang dilakukan oleh para Arcas dan Azura ingin para penulis narasi mendeskripsikan kegiatannya untuk membuat dirinya lebih pintar.

Ketika seorang penyaji memberikan potongan daging, hidung Azura tergoda secara reflek membuat matanya menoleh. Daging dengan bumbu di piringnya sungguh membuat Azura meneguk ludah. Ia mendesis, menahan kegembiraan yang akan meluap karena antusias ingin segera makan.

Ia menggeser diri, memberikan kesempatan untuk yang lain. Saat itu senyuman Azura tercipta karena melihat puding berwarna merah muda dengan potongan buah strawberry.

"Penguntit."

Tangan Azura tidak jadi mengambil cup berisi puding itu dan beralih menatap orang di sampingnya yang ternyata adalah Oscar.

Pemuda itu memang tak menatapnya, tetapi Azura merasa jika kata-kata itu diarahkan padanya.

"Kau berbicara padaku?"

Oscar melirik, tangan pemuda itu terulur untuk menerima daging dari penyaji dan mengabaikan pertanyaan Azura.

"Minggir," titah pemuda itu menatapnya datar.

"Jelas-jelas kau bicara padaku," dengkus Azura.

Tak menghiraukan, tangan Oscar mengambil puding dan melewatinya begitu saja.

Merasa tak dihargai dengan reflek Azura menarik bahu Oscar. Pemuda itu perlahan menaikkan sedikit dagunya, memberikan peringatan dengan gestur.

"Apa maumu?" tanya Azura langsung ke inti.

Oscar memalingkan wajah seraya mengembuskan napas, menganggap Azura adalah urusan yang melelahkan. Tangan kiri Azura mengerat saat pemuda di depannya ini tak menghargainya sama sekali.

"Tidak ada," jawab Oscar ringan, masih tak menatap Azura.

"Jangan karena kau bertahan menjadi pemenang di acara ini sikapmu seperti ini," tukas Azura dengan berani menunjuk wajah Oscar. Mata tajam Azura tak melepaskan sama sekali pandangannya pada wajah Oscar.

CALLING OUT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang