"Terima kasih ya. Ini bayarannya," ujar seorang wanita setengah baya pada gadis yang mengantarkan pesanan lukisannya. "Kalau ada lukisan bagus lagi, antarkan padaku ya?" ujarnya lagi sembari tersenyum.
"Pasti, Nyonya! Aku pasti akan mengantarkannya!"mjawab gadis itu dengan nada riang. Cengirannya yang lebar membuat wanita di hadapannya kembali tersenyum. Gadis itu berambut pirang sepungyang dikuncir ekor kuda. Kulitnya putih langsat dan matanya hitam kecokelatan. Ia mengenakan pakaian sederhana, terlihat dempul-dempul cat lukisan menempel disana.
"Oh ya, Sally, katakan pada bosmu aku suka lukisannya. Indah...," lagi-lagi wanita itu tersenyum, namun kali ini sambil tersipu malu.
"Baik, Nyonya. Akan kusampaikan nanti," ujar Sally dengan cengiran khasnya. Kemudian Sally berpamitan dan melengos pergi meninggalkan wanita itu, menggeos sepedanya menerobos kerumunan orang di tengah kota.
Hari ini cuaca agak mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Sally mempercepat laju sepedanya, berharap hujan tak turun sebelum ia sampai di gallery tempatnya bekerja sebagai tukang antar lukisan. Sepedanya menukik tajam saat melewati pertigaan yang sepi di ujung jalan, namun ia berhenti mendadak beberapa blok dari pertigaan yang barus saja dilewatinya. Dahi Sally mengerut. Dia memundurkan sepedanya dan menoleh ke arah gang yang tadi sempat dilaluinya. Dilihatnya sosok yang entah kenapa membuat sesuatu dalam hatinya bergejolak. Sosok itu adalah seorang pemuda, sepertinya seusia dengan Sally. Rambutnya hitam kemerahan, matanya hitam legam, dan postur tubuhnya terlihat sangat sempurna. Kulitnya putih bersih, walaupun terlihat beberapa luka tergores di sana. Tapi... ada sesuatu yang janggal dari penampilannya. Hampir seluruh tubuhnya dipenuhi noda darah. Apa yang sebenarnya terjadi? Sally berpikir untuk mengabaikannya dan pergi saja kembali ke gallery. Tapi langkahnya tertahan, justru dia malah mendekati pemuda itu. Pemuda itu berjalan keluar dari gang, berpapasan dengan Sally.
"Ehm, hai...," ucap Sally terdengar konyol. Sapaan macam apa itu? Pemuda itu melewati Sally begitu saja, sama sekali tak menggubris sapaannya. Sally hanya bisa melongo tak percaya menerima kenyataan bahwa dia baru saja dicuekin. Anak sialan! Umpat Sally dalam hati. "Hei! Aku menyapamu barusan! Apa kau tidak dengar???" sergah Sally sewot. Pemuda itu menghentikan langkahnya. Menoleh, dan menatap Sally dengan ekspresi datar. Sesaat dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari-cari sesuatu.
"Kau... bicara denganku?" tanya pemuda itu. Sally tak habis pikir, memangnya sejak tadi dia bicara dengan siapa? Tembok?
"Ya. Memangnya ada lagi orang yang bisa diajak bicara disini?" jawab Sally setengah dongkol. Lalu Sally meletakkan sepedanya begitu saja dan menghampiri pemuda tak tau sopan santun itu dan bertanya, "Sedang apa kau disini?" tanya Sally sekedar berbasa-basi.
Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya. "Bukan urusanmu," jawabnya sedingin bongkahan es batu, kemudian kembali melangkah meninggalkan Sally.
"Hei! Aku kan cuma tanya! Dan... bajumu... Kau tak apa-apa? Kenapa ada begitu banyak darah? Apa kau tadi terjatuh?" tanya Sally bertubi-tubi sambil bersusah payah menuntun sepedanya dan mencoba menyamai langkah pemuda itu. "Apa tadi terjadi kecelakaan? Apa perlu kupanggilkan dokter? Mau aku antar ke rumah sakit? Oh, apa ada yang terluka atau-" tiba-tiba pemuda itu berbalik dan menatap Sally dengan tatapan galak. Sally langsung bungkam.
"Cerewet," ujarnya sadis. "Pergi. Jangan ganggu aku," tambahnya datar seraya memelototi Sally. Sally hanya bisa menelan ludah. Lidahnya terasa kelu, dia tak berani bicara lagi. Pemuda itu kembali berjalan menyusuri jalan yang lenggang. Dan Sally, dia hanya bisa diam seribu bahasa, namun kakinya tak berhenti melangkah mengikuti langkah pemuda yang sedang berjalan di depannya.
Sepanjang jalan, Sally hanya memperhatikan punggung pemuda itu dengan perasaan aneh yang berkecamuk di dalam dadanya. Entah perasaan apa itu.
Pemuda itu berhenti di sebuah sungai di ujung jalan setelah sekitar lima belas menit berjalan. Langit masih tampak mendung, namun hujan belum juga turun. Dilepasnya kemeja yang ia kenakan, lalu dia menghampiri sungai dan membasuh tubuhnya dengan air sungai. Membersihkan noda darah yang melekat pada tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pandora [END]
Mystery / ThrillerApapun alasannya, jangan pernah membuka Kotak Pandora. Atau kalian akan menyesal... Copyright © 2013 by Sendiana Henry © All Rights Reserved