(16) akhir sebuah opera

66 7 13
                                    

"Lim,"

Halim tersentak. Suara Otong membangunkannya dari lamunan berlarut itu. Sudah terbiasa dengan sesi renung-merenungnya, Otong tidak berkomentar, hanya bersandar ke dinding pintu masuk toko sambil menaruh satu tangan di pinggangnya.

"Maneh ka studio teu?"

Ah, iya. Itu. Halim tersenyum meringis, sudah cukup memberi jawaban pada Otong.

"Ngke lah. Ini gue lagi beberes dokumen sebentar," Ia mengayunkan jilidan skripsi yang dari tadi dipegang dan tidak dibaca sungguh-sungguh. "Anu, mau gue kasih ke kang Wandi."

"Oooh, gitu... yaudah. Nanti kalo ke sana saya mau ikut, soalnya."

"Nah. Mending lu bantuin gua nyortir semua ini. Biar cepet!"

Begitulah, selama beberapa jam setelahnya, Halim dan Otong sibuk memilah-milah dokumen di kantor Halim yang sudah menumpuk lagi. Padahal rasanya sudah berkali-kali Halim menyingkirkannya, tapi ada saja yang datang, dan tumpukannya meninggi lagi. Sampai setahun yang lalu akhirnya Halim membeli rak besi baru untuk menyimpan buku-bukunya.

Otong tidak pernah mengerti kenapa lelaki itu menerima barang jualan yang 'recehan' begini. Bukan buku antik, atau langka, atau bahkan novel-novel jadul, tetapi surat dan naskah-naskah resmi. Yang tidak ada nilai hiburannya sama sekali dan tentu akan sulit dijual.

Halim selalu bilang ia suka saja membacanya. Mungkin itu memang benar, tapi Otong merasa ada alasan terselubung. Ia tidak yakin apa... sejak kejadian tiga tahun lalu itu, Otong tidak pernah yakin Halim merasa apa.

Setelahnya, sesuai janji, ia dan Otong berjalan ke parkiran, hendak meluncur ke kafe & bar yang kepemilikannya tercatut atas nama Halim.

"Om," seorang pemuda kurus buru-buru menghampiri mereka sebelum mobilnya berjalan., "Om, kela om..."

"Oh iya. Punten, poho euy..."

Langsung mengerti, Otong pun merogoh sakunya dari kursi penumpang, beberapa lembar kertas itu di estafet sampai ke tangan si pemuda yang menghitungnya dengan cepat.

"Dikit kok barangnya. Pas balik saya tambah lagi,"

Si pemuda mengangguk, dan berjalan pergi, meninggalkan mereka lagi.

Lalu malah Halim yang menoleh dan bertanya, "Stoknya abis?"

"Ho-oh. Bang Andi belom sempet ngirim," Jelas Otong, meraih pegangan tangan di dekat jendela mobil, "Malah lagi ngurusin kafe, nih. Saya juga bingung mintanya lagi gimana."

Halim tidak melanjutkan topiknya lagi. Otong pun tahu kenapa, jadi kembali membicarakan yang lain.

Sesampainya di kafe yang terdaftar kepemilikannya atas nama Halim itu, suasana sepi, kosong melompong, seperti biasa. Mobil pickupnya bisa parkir dengan mudah. Toh fungsinya hanya untuk menjadi catatan di atas kertas. Selain satu-dua turis yang kedatangannya bisa dihitung jari dalam sehari, yang memberi "Hillside Cafe & Bar" kehidupan hanyalah Otong. Lelaki itu masih suka nongkrong, mengerjakan entah apa karyanya. Saking seringnya sampai anak staff sempat mengira dia pemilik kafe juga.

Begitu masuk Halim langsung sibuk dengan petugas kasir, menanyakan penjualan hari ini, untuk memperhitungkan seberapa jauh ia bisa manipulasi angka nanti. Sambil menunggu ia duduk di dekatnya. Mencoba meresapi kedamaian di tempat ini. Suara gemerisik daun... sayup-sayup keramaian dari staf lainnya di dalam... dan musik yang dipasang oleh si kasir. Musik yang rasanya sudah Halim dengar berkali-kali di radio dari bulan kemarin.

"Lagu baru ini, Put?" Halim berbasa-basi begitu si penjaga kasir kembali dengan sebuah binder.

"Lagu apa gitu om?" Ia malah bertanya balik, sebelum sadar apa yang dimaksud bosnya, "Oh, ini? Yang disetel? Nggak tau sih, aku mainin playlist dari aplikasinya aja. Mau diganti om?"

[BL] Apakah Susu Coklat Diperah Dari Sapi Coklat?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang