"Besok acara kelulusan, ya?" tanya Bentala, sambil menyelipkan helai rambut yang terlepas dari balik kerudung Ilesha. Tangannya bergerak pelan, memastikan rambut Ilesha tetap rapi di tempatnya.
Ilesha mengangguk. "Heem," gumamnya pelan.
"Nanti mau bareng aku apa sama Ayu?" tanyanya lagi,
"Nanti aku bareng Ayu aja ya, nggak apa-apa kan?" jawab Ilesha dengan nada sedikit ragu. Matanya menghindari tatapan Bentala, merasa tidak enak karena mungkin akan mengecewakannya.
Bentala menyandarkan punggungnya di pintu mobil, matanya menyipit menatap awan yang mulai mendung. "Kenapa nggak sama aku aja?" tanyanya lagi, kali ini ada nada kecewa yang tersirat jelas.
Angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah yang akan segera tersiram hujan. Awan yang tadinya cerah kini berubah kelabu, menandakan hujan akan segera turun. Mobil Bentala terparkir di depan halaman rumah Ilesha, suasana yang seharusnya menyenangkan terasa sedikit berat. Jika saja langit tidak mendung dan Tasya tidak merengek ingin pulang, mungkin mereka masih akan berlama-lama di taman tadi.
"Arah rumah kita kan beda," jawab Ilesha, suaranya pelan tapi tegas. "Aku nggak enak sama kamu, takutnya ngerepotin. Daripada kamu harus bolak-balik, mending langsung aja ke sekolah."
Bentala tersenyum kecil. "Fungsi pacar kan emang buat direpotin, Sha. Kamu kayaknya nggak mau banget ngerepotin aku, ya? Waktu itu cuma karena uang bensin aja kamu ngambek," ucapnya dengan nada bercanda, tapi ada kejujuran di dalamnya. Dia ingat bagaimana Ilesha marah sepanjang jalan hanya karena dia menolak uang bensin yang ditawarkannya. Padahal, Bentala senang jika Ilesha mau merepotkannya. Itu membuatnya merasa berarti sebagai seorang pacar.
"Aku tau kamu nggak suka ngerepotin orang lain, tapi kan sekarang ada aku. Mungkin aja besok Ayu juga bareng pacarnya, kan?" lanjut Bentala, mencoba meyakinkan Ilesha. Kata-katanya membuat Ilesha terdiam, merenungkan kemungkinan itu. "Kamu lebih milih ngerepotin temen kamu daripada aku?"
Ilesha menggelengkan kepalanya dengan cepat, reflek dari rasa bersalah yang mendadak menyeruak.
"Besok bareng aku ya? Aku jemput," ucap Bentala dengan lembut, pandangannya dalam dan tak beralih dari mata Ilesha.
Ilesha mengangguk pelan, menyetujui permintaannya. Sudut bibir Bentala terangkat, membentuk senyum puas. "Good girl," bisiknya penuh sayang, seolah menyimpan rasa lega.
"AA IH LAMA, NGEBUCIN MULU, UWIH HAYU!" teriak Tisya tiba-tiba, suaranya melengking dari dalam mobil. Kepala gadis kecil itu muncul dari balik kaca mobil yang terbuka setengah, membuat kehebohan kecil di tengah momen romantis itu.
Bentala menepak kepala Tasya pelan. "Gandeng Tisya," ucapnya dengan nada sedikit kesal.
Tisya mengaduh kecil, dramatis seperti biasa. Padahal, posisinya sangat dekat dengan Bentala, bicara dengan suara biasa saja seharusnya sudah cukup. Tapi, begitulah Tisya, selalu tahu cara membuat Bentala emosi dengan hal-hal kecil. Tidak di rumah, tidak di luar, selalu saja sama. Meski begitu, Bentala sadar dirinya pun sering membuat adiknya itu kesal dengan tingkah usilnya.
"Ya udah pulang gih, kasihan Tisya, kayaknya capek pengen istirahat," ujar Ilesha, matanya melirik ke arah Tisya yang kini tampak lelah. Gadis kecil itu sudah mengeluarkan kedua tangannya dari dalam mobil, menjuntai lemas tanpa gerakan sementara kepalanya bersandar di sisi kaca mobil.
"Itu akal-akalan aja," ucap Bentala sambil tersenyum. "Ya udah, aku pulang ya? Titip salam buat orang tua kamu."
Ilesha mengangguk, senyum tipis muncul di wajahnya. "Iya, siap. Nanti aku salamin. Gak sekalian serai-nya?" candanya, membuat keduanya tertawa bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ephemeral (Tamat)
Teen FictionGengre: Romance, Misteri •••🦋••• Sinopsis: Ilesha Mutiadaksa adalah seorang gadis yang dibayangi masa lalu kelam, membuatnya berjanji untuk tidak lagi membuka hati pada siapa pun. Namun, semua berubah ketika Bentala Zayn Shailendra hadir dalam hi...