Aku menulis nama Putri Amanda Halli di buku tulisku. Sekarang aku akan pilih nama yang cocok untuk memanggilnya. Aku tidak bermaksud menjelek-jelekkan nama Putri. Tapi serius, nama Putri itu pasaran. Aku bisa mendengar nama Putri di mana-mana. Jadi karena alasan ini, aku tidak ingin memanggilnya dengan nama Putri. Aku sudah bilang dia berbeda. Dia tidak sama dengan putri-putri lain.
Aku berpikir.
Apakah aku akan pilih nama Halli?
Kayaknya...gak cocok. Itu seperti nama laki-laki.Bagaimana kalau Amanda?
Bentar...
Nah, sepertinya ini cocok.Mulai ini aku akan memanggilnya Amanda. Fix!
--OOO--
Habis mandi aku pergi ke depan TV dan duduk di sofa dengan ponsel yang kugenggam. Aku tiba-tiba teringat dengan kota asal Amanda: Makassar.
Ponselku yang tadinya ingin kupakai bertukar pesan dengan kawan-kawan menjadi kupakai mencari tahu tentang kota Makassar lewat internet. Setelah itu, aku tahu bahwa Makassar merupakan kota terbesar di wilayah Indonesia Timur dan juga termasuk salah satu pusat kota terbesar di Indonesia. Menurut informasi yang kutemukan, sejak tahun 1971 hingga 1999 kota Makassar sebelumnya dikenal resmi dengan nama Ujung Pandang. Dan ternyata Makassar juga adalah nama suku.
Apakah Amanda suku Makassar?
Aku tidak tau. Lagipula apa pentingnya soal itu!Aku bersandar ke sofa. Yang terus terbayang-terbayang dipikiranku sore ini hanya wajah Amanda. Bahkan ketika aku memejamkan mata, aku tidak bisa menghapusnya. Ada rasa ingin bertemu dirinya yang seperti mendorongku.
"Rio!" tiba-tiba aku mendengar suara Ibu memanggil. Itu berhasil mengalihkan pikiranku.
Aku langsung menyaut dengan agak teriak. "Ya, Bu!"
"Coba kau angkat ini!"
Aku lalu pergi ke dapur di tempat suaranya terdengar.
"Apa?" aku bertanya saat telah melihat Ibu berdiri di depan dispenser air.
"Pasang galon dulu, Nak," jawab Ibu sambil menunjuk Galon yang ada di lantai, lalu memandangku.
Aku segera melakukan apa yang Ibu suruh. Setelah itu aku kembali ke ruang TV.
Ayahku keluar dari kamarnya yang terletak di antara ruang TV. Dia bertanya. "Kenapa?"
"Angkat galon," kujawab sambil memandangnya sebentar.
Dia lalu pergi ke dapur menemui Ibu.
Waktu itu ayahku memang kembali tinggal bersama kami. Dia sudah tidak tinggal di Belawan sejak apa yang dia usahakan di sana tidak berjalan lancar.
Aku kembali bermain ponsel. Aku mengirim pesan ke grup chat kawan-kawan untuk menyapa dan kami mulai saling bercanda.
Beberapa saat kemudian, Ayah datang dari dapur. Dia ikut duduk di sampingku, lalu mengambil remot untuk menghidupkan TV.
Kemudian Ibu juga datang dengan membawa piring berisi potongan buah semangka dan meletakkannya di atas meja. Aku bergeser ke sudut sofa dan Ayah yang ikut bergeser untuk memberi Ibu tempat duduk.
Kami menyantap semangka sambil nonton acara talk show yang sedang tayang di TV. Di tengah-tengah itu, Ayah ngomong ke aku:
"Kalau di rumah begini kan enak, kau bisa bantu-bantu."
Aku cuma diam untuk mendengarnya.
"Apalah kalau kau di luar, cuma nongkrong-nongkrong gak jelas!" kata Ayah lagi.
Aku tetap diam.
"Kalau kau begini terus sampai lulus sekolah, aku kasih kau hadiah!"
Aku menoleh. "Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐊𝐀𝐌𝐔
RomanceIni adalah sebuah kisah tentang cinta beda agama. Tapi sejujurnya kisah ini lebih dari itu. _________________________________________ Pacaran beda agama itu sulit. Iya, memang. Tetapi ternyata ada banyak orang yang menjalaninya. Entah sudah tau atau...