Namaku Kanaya Sabita, aku adalah seorang Guru baru disalah satu sekolah negeri di Bandung. Menjadi Guru adalah impianku dari dulu, karena menurutku Guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa yang mendidik anak-anaknya untuk generasi yang cemerlang. Disamping lelahnya mendidik anak-anak, selalu ada saja tingkah laku mereka yang membuatku tersenyum dan sejenak melepas penatku....
Pagi ini, dihari senin yang cerah aku harus berangkat dini hari untuk mempersiapkan apel pagi dan sebagai contoh yang baik bagi para murid.
Tingg!
Bel sekolah berbunyi, seluruh murid berhamburan memenuhi lapangan membentuk barisan panjang. Aku sebagai Guru baru di sana mencoba untuk beradaptasi, membantu para Guru lainnya untuk membereskan barisan yang tidak sesuai dan memeriksa atribut yang tidak lengkap.
Setelah selesai, akhirnya apel pagi bisa segera dimulai yang di pimpin oleh anak-anak kelas 6 sebagai petugas pengibar bendera, bak paskibra profesional anak-anak kelas 6 begitu telaten dalam mengibarkan bendera.
Ditengah asik melihat pengibaran bendera, mataku berpaling ke salah satu murid yang berada tidak jauh diantara barisan. Perawakannya seperti anak kelas 1 SD dengan posisi duduk, menundukkan kepalanya, dan memegang kedua lututnya.
"Dek kenapa kamu disini ayo bergabung ke dalam barisan," sahutku dengan lembut.
Murid itu hanya tertunduk lemah, dengan tubuh yang pucat masam. Pikirku anak itu sedang sakit, oleh karena itu dia tidak mengikuti upacara.
Dengan sigap aku membawanya ke UKS untuk diberikan penanganan khusus. Namun sayangnya ruang UKS saat itu sedang kosong, aku pun membaringkan anak itu memberinya selimut tapi tidak berani memberikannya obat sembarangan, aku membiarkan anak itu beristirahat sambil menunggu Guru UKS tiba. Setelah dirasa cukup aku pun menuju lapangan untuk kembali menyelesaikan upacara.
15 menit kemudian upacara selesai, para murid langsung menuju kelas dan memulai pembelajaran. Kebetulan saat itu aku memegang kelas 1 sebagai pencobaan.
Kelas pada saat itu lumayan berisik dengan anak-anak yang berlarian ke sana-kemari. Namun aku bisa mengatasi situasi seperti ini dan mulai mengabsen satu demi satu murid di sana untuk memastikan semuanya hadir.
"Aruna Maritha," panggilku.
"Hadir buu,"
"Alana Mikha,"
"Hadir buu,"
"Assyifa putri,"
"Hadir buu,"
"Azmi nursan,"
",,,,"
Hening tanpa ada jawaban aku pun mendongakkan kepalaku mencari siapa anak yang baru sajaku sebut. Tepat di belakang sana anak yang tidak asing dimataku mengacungkan tangan tanpa berbicara sepatah katapun.
Masih dengan wajah pucat masam menatapku begitu dalam, seakan semakin mendekat dan semakin mendekat tatapan itu tidak lepas dari mataku sampai ...
Arghhhh!
Aku berteriak membuyarkan lamunanku begitu pula dengan anak-anak yang kaget mendengarku berteriak.
"Kenapa bu?" tanya salah satu murid di sana.
"Tidak apa-apa nak, Ibu lanjut mengabsen yahh," jawabku dengan menoleh kearah anak itu sekali lagi.
Nampak anak itu masih berada di sana namun bedanya ia menundukkan kepalanya dan tidak lagi mengacaukan tangan.
Aku mencoba berpikir positif sepanjang pelajaran. Aku segan melihat kearah belakang dan sesekali hanya menunduk ketika menjelaskan.
Tingg!
Akhir bel pulang pun berbunyi rasanya hawa kelas saat itu sangat mencekam bagiku, bulu kudukku juga merinding sejadi-jadinya. Tapi yaudahlah semua sudah berakhir, tadinya niatku mencari anak itu lagi karena dirinya tidak terlihat saat anak-anak yang lain bersalaman ketika pulang.
Saat aku hendak melangkah meninggalkan kelas, Bu Ida sebagai Guru senior di sana menghampiriku di kelas.
"Bu, saya lupa bilang ke ibu tadi," sahut Bu Ida.
"Iya Bu kenapa?" tanyaku pelan.
"Salah satu muridmu hari ini izin tidak masuk kelas karena sakit, tapi Ibu lupa ngasih tahu,"
"Oh yah bu siapa namanya?"
"Azmin nursan, dia izin karena sakit. Kecelakaan katanya tangannya patah,"
"Azmin nursan? Bukankah itu anak ituu??" benakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan cerpen
Historia CortaKumpulan cerpen fiktif genre romans, horor, komedi dan misterius dsb