23 Januari 1981
Aroma petrichor bagaikan obat penenang dikala sendu. Seorang pemuda tengah menatap sendu hamparan lautan di depan sana. Hidung bangirnya menghirup rakus aroma tanah basah setelah hujan turun mengguyur bumi. Lautan itu terlihat amat tenang dari permukaan. Siapa sangka jauh berpuluh-puluh mili meter di dalam sana, laut menyimpan banyak rahasia. Bisa jadi keindahan, bisa juga menjadi sumber ketakutan.
Setelah lima tahun merantau di Jakarta, akhirnya Pra akan pulang ke Ujung Pandang. Dirinya tak sabar untuk bertemu ibu, bapak serta sanak saudara yang juga tengah menantinya di sebelah pulau sana. Jauh dilubuk hati yang paling dalam, Pra sangat merindukan mereka. Maka dari itu Pra berjuang mati-matian mengumpulkan uang di kota orang agar bisa kembali pulang.
"Besok kamu sudah balik ya, Pra?" Denis Atmaja, yang kerap disapa Deden itu menatap sendu sahabat karibnya. Andi Pratama Nicholas adalah sahabat Deden sejak mereka semester satu dibangku perkuliahan.
Pra menyunggingkan senyum tipis seraya menepuk pelan pundak sahabatnya. "Saya kangen mama, bapak, dan lainnya. Saya hanya meminta libur satu minggu, Den. Setelah itu saya kembali kesini." Pra hampir tertawa melihat Denis yang memonyongkan bibir seperti bebek. Sepertinya pemuda itu tengah merajuk.
"Bagaimana jika kamu tidak kembali lagi?" Pra seketika menoleh ketika mendengar penuturan Denis. "Maksudku, bagaimana jika kamu betah di kampungmu dan memilih menetap disana?" Sedetik kemudian Pra memasang tampang jijik ketika melihat Denis berlagak seperti perempuan yang sedang merajuk. Seketika wajah sangar Denis sirna karena ekspresinya itu.
"Selama belum jadi orang sukses dan membanggakan keluarga, saya akan tetap menjadi anak rantau. Setelah menabung rindu bersama mereka, saya akan kembali, Den. Percayalah," tutur Pra berusaha meyakinkan Denis.
"Sayangnya saya tetap tinggal disini karena saya tidak punya kampung. Resiko jadi orang asli sini, Pra." Deden masih merajuk. Kesal karena Pratama akan pulang kampung. Setelah Pra pergi Denis pasti akan kesepian. Tak ada lagi temannya menonton bola, atau menonton opera di akhir pekan untuk sekedar mencari hiburan setelah lelah bekerja.
Pratama tergelak, "Seharusnya kamu bersyukur, Den. Gak perlu jauh dari keluarga, mau ketemu tidak perlu menyeberangi lautan. Tidak seperti saya yang harus merantau jauh demi menghidupi mereka, walau resikonya kami terpisah jarak ratusan kilometer dan harus tahan menabung rindu,"
"Bapak Pra malah ceramah. Iya-iya Deden paham kok." Denis memeluk Pra ala laki-laki.
"Hati-hati ya, Pra. Jaga diri sampai kembali kesini lagi, aku sedih kalau kamu kenapa-napa." Pra langsung melepas paksa pelukan keduanya, takut Denis belok karena pemuda itu terlalu lama melajang.
Denis bergidik menatap horor Pra yang menuduhnya menjadi gay. Enak saja, Denis masih normal kok. Buktinya dia masih mengejar Raden Esha Dahayu meski sudah ditolak berkali-kali. Si bunga desa yang sulit sekali dia gapai.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADRIFT
Historical Fiction⚠️Cerita ini diambil dari kisah nyata tenggelamnya KMP Tampomas II pada tahun 1981 dan telah dibumbuhi dengan cerita fiksi. Pra tak menyangka jika di umurnya yang ke-24 tahun, ia harus menyaksikan peristiwa paling tragis seumur hidupnya. Bulan Jan...