⚠️Cerita ini diambil dari kisah nyata tenggelamnya KMP Tampomas II pada tahun 1981 dan telah dibumbuhi dengan cerita fiksi.
Pra tak menyangka jika di umurnya yang ke-24 tahun, ia harus menyaksikan peristiwa paling tragis seumur hidupnya.
Bulan Jan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kasih bintang dulu yuk!💫
Jakarta, Januari 1976
Mata kuliah yang sedang diampu oleh Pak Santos benar-benar membuat Pra pusing. Dosennya itu benar-benar disiplin, apabila ada mahasiswa yang datang terlambat, maka tidak diizinkan untuk mengikuti kelas beliau.
Pra merutuki dirinya yang keasyikan main catur hingga dini hari bersama Denis dan teman-teman kostnya. Alhasil dia terlamnat bangun dan telat ke kampus.
Kaki Pra berlari menuju kelas yang berada di lantai dua, letaknya paling ujung sebelah barat. Sesekali kakinya tersandung-sandung, nyaris jatuh jika saja Pra tidak berusaha menyeimbangkan bobot tubuhnya.
"Tolong bantu saya bawa dia ke rumah sakit, dia harus segera mendapatkan penanganan medis!" Langkah Pra seketika terhenti ketika melihat seorang gadis tengah merangkul perempuan lain yang kini tengah bercucuran darah di area paha ke bawah. Wajahnya pucat pasi.
Perempuan itu mengguncang pelan lengan Pra dengan satu tangannya ketika melihat Pra hanya terdiam. "Hei tolong bantu saya. Tolong carikan angkutan umum untuk kita." Pra mengangguk paham.
Tungkainya berbalik dan berlari kencang menuju ke jalan raya. Langkahnya diikuti oleh perempuan yang berjalan sembari merangkul seseorang yang kini berada di ambang kesadaran.
"Pak berhenti Pak! Tolong bawa kami ke rumah sakit." Untungnya angkutan umum baru saja lewat di depan kampus. Karena masih pagi, maka belum ada penumpang yang lainnya.
Mereka bertiga masuk ke dalam angkot. Pra memandang kedua perempuan yang ditolongnya itu. Perempuan yang memanggil Pra tadi berusaha mengecek temannya yang sudah setengah sadar itu. Matanya sayup, dengan bibir bergetar ia menggenggam lembut tangan temannya. "Bertahan Tiyas, jangan tidur."
Sayup-sayup mata Tiyas terbuka, menatap langit-langit angkutan umum. "Sa-kit, Kalaya. Ini sakit sekali," Gadis itu meringis, begitu pula dengan Pra yang turut prihatin.
"Pak tolong lebih cepat, dia harus ditangani secepatnya." Permohonan Pra disanggupi oleh sang supir. Angkot itu membelah jalanan lengang pagi ini. Angin yang masuk ke sela-sela jendela tak cukup memberikan udara segar dalam keadaan yang menegangkan itu.
Pra menghembuskan nafas lega ketika perempuan yang ditolongnya tadi sudah ditangani oleh dokter. Lututnya lemas ketika menggendong tubuh ringkih itu yang nyaris dipenuhi darah pada bagian bawah tubuhnya. Tangan dan celana jeans-nya terkena darah wanita tadi.
Sungguh, Pra sudah tidak memikirkan mata kuliah yang harus diikutinya. Tidak lagi mendapat omelan dari Pak Santos sebab dirinya kerap kali terlambat masuk. Pra tidak lagi memikirkan jika hari ini ia harus mengikuti ujian di mata kuliah selanjutnya. Pikirannya berusaha mencerna apa yang telah terjadi. Mengapa Tiyas ditemukan hampir sekarat di daerah kampus? Mengapa orang-orang di kampus hanya memandang kedua gadis itu dengan sinis tanpa berniat membantu Tiyas? Pra tidak mengerti, dimana hati nurani manusia-manusia itu.