.
.
"Ummi gak setuju kamu sama Adli."
.
.
***
Adli mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Duh, apa lagi, sih? pikirnya. Dia 'kan tadi sudah menolak makan malam. Sudah ada dua pelayan yang kemungkinan disuruh ibunya untuk membujuknya makan.
"Ya?" sahut Adli yang sedang berbaring di tempat tidur dengan sorot mata malas.
"Om, maaf mengganggu. Ini aku, ... Elaine."
Suara lembut Elaine membuat debar jantung Adli melonjak seketika. Ia turun dari peraduannya dan setengah berlari ke pintu kamar, lalu membuka pintu sedikit. Sok malu-malu, padahal sih, gak tahu malu.
"Ada apa?" tanya Adli berlagak penasaran. Padahal sudah menebak bahwa seseorang menyuruh Elaine untuk mengajaknya makan malam. Tapi siapa? Ibundanya tercinta? Erika? Tidak yakin rasanya.
"M-Maaf, Om. Aku disuruh Abi untuk ngajak Om makan malam," jelas Elaine yang dadanya bergemuruh melihat Adli rambutnya agak acak-acakan. Terlihat alami dan ... menggemaskan.
Adli yang merasa tatapan Elaine sempat mengarah ke bagian atas kepalanya, refleks menyugar rambut. Apa ada sesuatu di rambutnya? Ketombe? Ah masa' iya? Dia tidak pernah berketombe.
"Oh, Abimu yang suruh?" komentar Adli yang terdengar di telinga Elaine seperti ada nada kecewa di sana.
"I-Iya, tapi aku khawatir juga, makanya --," Elaine diam setelah merespon begitu. Pipi Elaine memerah, sementara Adli salah tingkah.
Arisa yang berdiri di luar kamar, melipat tangan di dada. Dasar, mereka. Bocah ingusan, batin Arisa. Adli walau sudah dua puluhan, kelakuan tetap seperti remaja.
"Maksudku, aku khawatir Om-ku sakit gara-gara gak makan," imbuh Elaine, seolah menjelaskan bahwa kekhawatirannya adalah murni bentuk kepedulian sebagai seorang keponakan pada Om-nya.
"Oh," gumam Adli dengan pandangan tertunduk. Ternyata perhatian Elaine semata karena hubungan Om dan keponakan di antara mereka.
"E-Emm ... lagi pula, kalau Om sakit, nanti jadi gak bisa antar aku dan Tante Haya ke sekolah. Ya 'kan?" tambah Elaine. Ada perasaan aneh yang membuat dia merasa tidak tega melihat Adli terkesan kecewa. Makanya ia menambahkan dengan kalimat itu. Tapi Elaine segera tersadar kalau kalimat itu mungkin terdengar aneh.
"Oh?" sahut Adli yang mimik wajahnya lebih cerah. Apa maksud Elaine, Elaine merasa momen Adli mengantar dirinya ke sekolah adalah momen yang menyenangkan?
Elaine tertawa gugup. Sepertinya dia salah bicara. Apa itu terdengar seolah dirinya minta diantar terus oleh Adli ke sekolah? "Ha ha. Aku ngomong apa sih? Om malah senang ya, jadi gak perlu repot-repot antar aku ke sekolah," kata Elaine menyangkal kalimat ngaconya sebelumnya.
"Enggak. Aku ... aku senang tiap antar kamu ke sekolah. Kalau bisa, aku mau begitu tiap hari," kata Adli dengan sorot mata lembut khas almarhum Ayahnya. Biar bagaimana, dia dulu pernah jadi Don Juan waktu SMA.
Elaine merasa mukanya mendadak panas. Ia membuang muka dan melirik sedikit ke arah Ummi-nya yang dari gerak tubuhnya sepertinya sedang gemas ingin menjitak kepala putrinya. Elaine spontan menelan saliva. Setelah ini, dia pasti kena omel.
"Ada siapa di luar? Kamu ke sini sendirian atau --," tanya Adli yang menangkap barusan Elaine menoleh ke samping.
"E-Enggak ada siapa-siapa, Om. Aku sendirian," jawab Elaine cepat, sebelum tersenyum gugup. Terpaksa bohong, deh. Umminya, sih. Ada-ada saja. Kenapa harus sembunyi segala, coba?

KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED 2 (HIATUS)
SpiritualSemua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik angkatnya sendiri. Plus, Yunan jadi lebih akrab dengan Ismail dan Ishaq, kedua putra Raesha. Arisa sebagai istri Yunan, dibuat galau dengan p...