Bagian 2

2 1 0
                                    

Di sebuah kamar seorang gadis dengan pakaian sekolah yang masih melekat terlihat nyenyak dalam tidurnya.

Seorang wanita paruh baya dengan wajah yang masih terlihat cantik di usianya berjalan masuk ke arah ranjang gadis yang masih terlelap itu.

"Sayang bangun, ayo kita makan malam dulu." di tepuknya pipi gadis itu dengan ringan membuat dia sedikit terusik.

Matanya mulai terbuka dan menatap sayu ke arah wanita paruh baya di depannya.

"Jam berapa ma sekarang?"

"Jam tujuh malam, makanya mama bangunin kamu, ini udah waktunya makan malam, papa aja udah nungguin tuh di bawah." Arin tersenyum menatap ke wajah manis putrinya, dirinya sangat bersyukur memiliki Auris di hidupnya.

"Papa?"

"iya sayang, sekarang kamu bangun, mama sama papa tunggu di bawah ya."

Kedua mata Auris terbuka sempurnya saat mendengar kata "papa", dia bergegas turun dan berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Auris mandi bentar ya ma, ngga lama."

Arin menggelengkan kepalanya menatap pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat di susul suara air yang mengalir, di matanya Auris masih anak kecil yang lucu namun pada kenyataannya putrinya sudah remaja dan akan beranjak dewasa, terkadang waktu memang berlalu begitu cepat.

Arin keluar dari kamar putrinya, dia pergi menuju ke arah meja makan dimana suaminya berada.

"Auris belum turun, ma?"

"Dia lagi mandi dulu mas, baru bangun tidur dari pulang sekolah."

Dirga mengangguk, matanya menatap ke arah wanita yang sudah menemaninya selama ini, banyak hal yang sudah mereka lewati dan kini semuanya sudah kembali stabil, namun kekhawatiran terkadang masih menyelimuti hatinya.

"Menurut kamu kapan kita akan memberi tahu putri kita tentang hal itu ma?"

"Jika bisa secepatnya, kamu sudah menghubungi Artama belum mas kalo kita sudah kembali ke kota ini?"

"Sudah, dia malah langsung mengundang kita untuk makan malam di rumahnya nanti minggu."

"Nanti kita bahas ini setelah makan bersama Auris saja mas, bagaimanapun ini akan menyangkut masa depan dia."

Auris turun dengan tergesa, berlari menuju pria paruh baya yang sudah duduk di meja makan bersama ibunya.

"Papa.., Auris kangen tau, rumah sepi banget kalo papa ngga ada." Auris memeluk manja Dirga yang di balas dengan kekehan dari pria tersebut.

"Dasar, kamu sudah besar loh, memang ngga malu meluk-meluk papa, hm?"

"Ngapain malu, lagian emang fakta kalo tiap papa ngga ada itu sepi, masa cuma berdua doang sama mama."

"Oh jadi kamu ngga suka kalo cuma berdua sama mama? jadi gitu."

Auris menggeleng panik menatap ke arah Arin yang memasang wajah terluka, dia buru-buru pindah memeluk mamanya dengan erat, mencium pipi wanita paruh baya dengan bertubi-tubi.

"Bukan gitu maksud aku, Auris tetap seneng kalo berdua sama mama, tapi kalo ada papa juga Auris lebih seneng, hehe."

"Sudah sudah lebih baik kita mulai makan aja, papa udah laper banget liat masakan mama kamu."

Auris pindah ke tempat duduknya sendiri, mereka mulai menyantap makanan masing-masing dengan di selingi obrolan ringan membuat suasana makan malam di rumah itu tampak hangat.

Setelah acara makan malam selesai sekarang mereka bertiga tengah berkumpul menghadap televisi dengan layar yang cukup besar, kedua wanita berbeda usia itu saling berebut memeluk Dirga, mencari posisi ternyaman untuk masing-masing.

Dirga begitu bahagia mendapatkan keluarga kecil yang saling menyayangi seperti ini, tidak pernah terbayang di benaknya saat saat seperti ini akan terjadi kembali setelah peristiwa beberapa tahun silam yang hampir merenggut salah satu dari orang tersayangnya.

Dulu perusahaannya belum begitu besar seperti saat ini, dia belum bisa jika harus melawan kelurga yang menjadi saingan bisnisnya kala itu, sebenarnya Artama mau membantunya namun dia merasa akan sangat merepotkan sahabatnya maka dari itu dia lebih memilih mengasingkan diri terlebih dahulu dan memulai semuanya kembali secara perlahan.

"Bagaimana sekolah kamu tadi nak, sudah dapat teman baru?"

Auris tersenyum, menganggukan kepalanya menatap ke arah wajah Dirga "Udah pa, disana ngga terlalu buruk, aku ketemu sama orang-orang baik."

Dirga dan Arin tersenyum mendengar cerita putrinya yang terlihat bahagia.

"Syukurlah, jika ada yang mengganggumu bilang sama papa ya."

"Siap bos, tapi Auris mau tanya sama papa, pas di sekolah aku ketemu cowok namanya Orion, dia kaya yang ngga asing tapi Auris lupa, dia juga kaya yang udah kenal sama aku, apa emang kita pernah ketemu sebelumnya, pa?"

"Kamu sudah bertemu dengan dia ternyata, secepat itu ya, ma?"

Arin tersenyum "Tidak ada yang tahu tentang takdir mas, mungkin memang mereka sudah di takdirkan makanya bisa secepat itu."

Dirga tersenyum lembut, tangganya mengelus rambut putrinya dengan sayang "Kalian pernah dekat dulu, kamu dan Orion seperti sepasang sepatu, dimana ada Orion disitu ada kamu, dan sebaliknya."

"Tapi kenapa Auris lupa sama dia pa?"

"Kamu ingat yang papa pernah bilang kalo waktu itu saat kamu kecelakaan, kamu melupakan sebagian ingatan di masa lalu, dan sebagian itu berkaitan dengan Orion makanya kamu merasa tidak asing dengannya."

"Auris lupa sama hal itu, pantas aja aku ngerasa ngga asing sama dia."

"Ada satu hal yang ingin papa kasih tau sama kamu."

Auris menatap ke arah Dirga, menyiapkan diri untuk hal yang akan di ucapkan oleh orang tuanya.

"Dulu sebenarnya kita tinggal di kota ini, tapi karena suatu insiden papa harus bawa kamu sama mama buat pergi dari sini, sebelum kamu di lahirkan papa sama mama dan orang tua Orion sudah berjanji akan menjodohkan anak kita yaitu kamu dan Orion.

Maafkan papa yang sudah memisahkan kalian, dulu papa belum bisa sekuat sekarang untuk melindungi kalian berdua, saat kita dalam perjalan meninggalkan kota ini ada beberapa orang bayaran yang mengincar nyawa keluarga kita dan untungnya Artama sekaligus ayah dari Orion datang tepat waktu untuk membantu kita.

Namun papa gagal saat itu, papa tidak bisa melindungi kamu dari kecelakaan yang mengakibatkan kamu koma dan lupa dengan sebagian masa lalu, papa minta maaf buat hal itu ya.

Papa sudah berjanji sama dia, suatu saat papa akan kembali untuk melanjutkan perjodohan ini karena kedua orang tua Orion hanya ingin kamu yang menjadi menantunya, jadi bagaimana sama kamu nak, kamu mau kan menerima perjodohan ini, tapi kalo kamu ngga mau papa akan bicarakan ini kembali dengan Artama"

Arin mengelus pundak anaknya "Kalian dulu selalu bermain bersama, bahkan saling menginap di rumah masing-masing, kalian selalu tidur bersama setiap malam saat menginap, kamu dan Orion sangat sulit di pisahkan tapi karena hal itu kami terpaksa memisahkan kalian berdua, maafkan kami Auris."

Auris terdiam membisu mendengar cerita masa lalu yang dia lupakan itu, jadi perasaan tak asing saat bertemu Orion saat itu memang sudah dari lama ada di dalam hatinya, menghembuskan nafas perlahan mencoba berpikir jernis untuk segala hal yang mengejutkan ini.

"Auris ngga masalah pa sama perjodohan ini, tapi kasih aku waktu ya buat nenangin diri dulu, maaf aku ke kamar duluan, selamat malam pa, ma."

"Selamat malam sayang."

Dirga dan Arin menatap sendu ke arah putri semata wayang mereka, perasaan bersalah karena harus menyembunyikan hal ini menyerang hati keduanya, mereka berharap putri kecilnya akan bahagia dengan pilihan yang telah mereka buat.

---------

Bersambung

BLURRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang