Under the Rain

228 43 5
                                    

Gempa menghela nafas, ia lupa membawa payung. Deras hujan yang berjatuhan ke bumi, serta hawa dingin yang menusuk tulang. Sial sekali Gempa hari ini. Ia bawa jemarinya untuk mengusap kulit yang sedikit basah akibat cipratan hujan.

Kembali lagi ia menghembuskan nafas, semoga umur Gempa tak berkurang karena terus menghela nafas. Pikirnya melayang pada kain jemuran di belakang rumahnya, ia mencicit sedih kala mengingatnya.

"Jemuran gue..." gumamnya sembari menghela nafas lagi, kali ini penuh dengan rasa pasrah.

Ia tatap air hujan yang terus berjatuhan, suasana di sekelilingnya mendadak berubah dramatis ala-ala drama Korea. Tiba-tiba lamunannya buyar kala dua siluet melesat menerobos hujan. Gempa berkedip kaget.

"BLAZE! ICE!" Ia berteriak marah, seragamnya kini setengah basah karena air hujan yang tanpa sengaja terciprat kearahnya ketiga kedua adiknya itu berlari.

Blaze tertawa senang sembari menggenggam pergelangan tangan sang kembaran, "SORRY, KAK GEM! GUE SAMA ICE BALIK DULUAN, MAU JEMPUT BOCIL!"

"Jajan juga!" sahut Ice, suaranya sedikit teredam oleh suara hujan, namun Gempa masih dapat mendengar perkataan adik-adiknya.

Gempa ingin melarang, tetapi adik-adiknya kini sudah basah kuyup di bawah hujan, "Jangan sampai sakit!" Ia memperingati, dan kedua adiknya itu langsung berteriak setuju sebelum melesat pergi meninggalkan halaman sekolah.

Si sulung ketiga itu menggelengkan kepalanya sembari bersidekap dada. Kala ia ingin kembali menikmati moment melankolis nya, sesosok siluet kembali melesat, membuat sepatunya kembali basah akibat cipratan air. Perempatan merah muncul di pelipis Gempa.

"TAUFAN CYCLONE!"

"YAALLAH! SEPATU GUE! CONVERSE GUEEEEEE! PAPA DATANG, NAK!"

Tentu saja teriakan marah Gempa akan Taufan abaikan, kembarannya itu jelas lebih memperdulikan sepatu seharga sejuta nya yang mungkin saja kini telah tergenang oleh lumpur dan air, bersamaan dengan jemuran Gempa.

Ingin sekali Gempa menepuk dahinya dan melontarkan makian pada saudaranya itu, tapi karena Gempa adalah sosok yang baik budi dan tidak sombong, yang tentu saja memiliki kesabaran seluas samudera, Gempa pun memaafkan dengan sedikit tidak ikhlas.

Ia tersenyum, namun ekspresinya tampak gelap.

'Liat aja lo di rumah nanti, Taufan.'

Nun jauh dari Gempa, Taufan mendadak bersin, ia mengusap lengannya, mendadak ia menggigil.

'Otw sakit kah gue? Wanjir bisa dimarahin Gempa nih!'  Lantas, Taufan melesat dengan cepat dan membelah hujan.

Kembali lagi ke Gempa, pemuda itu berdecak, tangannya tak lagi di depan dada, kini jemari itu berpindah ke pinggang, pose para ibunda kala memarahi anak-anaknya. Sepatunya yang basah bergerak mengikuti pergerakan kakinya yang menghentak-hentak lantai yang kotor dan basah, jelas sekali bahwa Gempa sangat kesal saat ini.

Padahal niatnya, pemuda itu ingin sedikit menikmati hawa dingin dan rintik hujan dengan suasana yang melodramatis sembari mengingat masalalu, tapi semuanya gagal karena ketiga saudaranya itu.

Ia tarik dan kemudian ia hembuskan nafasnya untuk memenangkan diri, Gempa pun menutup matanya, menikmati hembusan angin dingin yang menerpa kulitnya, manik emasnya menatap cakrawala yang kini menangisi bumi, indra pendengarannya kini terfokus pada bunyi rintik yang berjatuhan, aroma petrichor memenuhi indra penciumannya.

Ah, Gempa jadi teringat masa itu.

Lamunannya lantas buyar kala suara langkah kaki memasuki indra pendengarannya, langkah itu lembut, seolah terdengar tak ingin mengganggu waktunya.

BoBoiBoy AU | Reinn ArchivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang