21: yang tak terucapkan

68 11 10
                                    

✎ ⋆ ˚ • ⋆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆ ˚ • ⋆

"Lu napa dah, sering banget keluyuran di bengkel belakangan ini?" Asap rokok bergulung dan berhambur di udara; sebuah kenikmatan yang Bang Iyo pilih usai menandaskan sepiring nasi rames di warung kecil tak jauh dari bengkel.

Krama mengunyah tahu susur. "Biar dapet gorengan gratis lah."

"Hmm gitu. Ya nggak papa dah, itung-itung buat upah lu mijetin." Menandaskan air putihnya, Bang Iyo menekan ujung rokok ke asbak. Ia memanggil pemilik warung dan membayar makan siang mereka.

Sejak minggu lalu, Krama menghabiskan hari Sabtunya yang berharga di bengkel. Entah dorongan dari mana, ia ingin saja menyaksikan kesibukan bengkel dan memperhatikan insan di dalamnya bekerja.

Barangkali, kepadatan yang hilir mudik di bengkel pada akhir pekan bisa menggantikan keramaian di kepalanya. Barangkali, dalam gerakan tangan-tangan ajaib—termasuk tangan Papa—yang cekatan memperbaiki bagian kendaraan yang butuh tindakan, Krama bisa menemukan jawaban.

"Eh, terus gimana tuh rencana kuliah lu? Jadinya beneran nggak kuliah?"

"Hmm... Lagi dipikirin," sahut Krama santai. "EH IYAK! Lamaran lo gimana, Bang? Lancar?"

"Sabtu depan, rencananya. Doain yak."

"Cihuyyyy. Otewe jaga warung lalapan bareng ayaaang~"

"Yeee bocil." Segumpal tisu mengenai bahu Krama. "Ya doain aja lah. Rada pesimis gue soal warung, belakangan lagi sepi-sepinya."

Sebagai anak sulung yang tidak punya kakak untuk ia jadikan role model, Krama diam-diam menempatkan Bang Iyo di kekosongan itu. Bang Iyo pekerja keras dan penyayang, seorang gentleman selain Papa yang Krama kagumi. Kendati segaris sendu menyorot sekilas dari mata Bang Iyo, Krama tahu lelaki itu tidak akan pernah menyerah sebelum menemukan titik buntu.

"Yaa namanya juga usaha, Bang. Kalo rame terus ntar bingung kapan bisa pacarannya kan." Krama memanjangkan seringai, menaikturunkan alis jahil.

Bang Iyo melotot, tapi terbahak. "Mulutt! Bener juga sih, tapi.... Namanya juga hidup, ye nggak? Nggak mungkin tiba-tiba jadi sempurna. Ah, sempurna juga bukan punya manusia. Manusia mah nyarinya kebahagiaan."

"Buset. Quotes dari mana ntuh?"

Bang Iyo berdecak. "Dari pengalaman hidup hampir 30 tahun."

Krama tersedak es teh, lalu bergeming. "Terus, lo udah bahagia, Bang?"

"Belom. Mungkin ntar kalo gue udah nikah terus punya anak yang gantengnya mirip gue. Atau kalau warung gue viral terus didatengin Raffi Ahmad," balas Bang Iyo, lalu terkekeh begitu melihat kernyitan Krama. "Bercanda! Itu kalo lo tanya ke gue waktu awal-awal masuk bengkel, begitulah jawaban gue, karena gue masih cari kesuksesan, kesempurnaan. Masih naif. Rasanya kalo belom mencapai apa-apa, nggak berhak bahagia gitu. Sekarang mah gue udah sadar, yang kayak gitu cuma bikin capek. Gue dan hidup gue emang masih gini-gini aja, tapi sepanjang gue dengan sadar bergerak, berusaha, kerja buat hidup yang lebih baik, gue rasa gue bisa bahagia sama hidup ini."

where our hearts meetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang