01 - Wanita yang sudah menikah

64 6 0
                                    

*
*
*

* * *

Elysia menautkan sepasang tangannya, dengan mata terpejam ia merapalkan doa kepada sang pemilik alam semesta. Agar hari ini, ia diberikan berkat dan kesempatan yang aman damai sentosa untuk menjadi nyonya rumah seorang pria.

Saat ini ia sedang berada di sebuah bangunan paling suci di Selatan yang didirikan di tepi tebing, gereja itu merupakan satu-satunya tempat suci Kadipaten dengan lokasi yang menenangkan karena menghadap ke lautan luas.

Karena saat itu adalah pagi hari yang sibuk untuk orang yang bekerja, usai pengadaan ibadat subuh, tempat itu jadi kosong. Elysia duduk di bangku panjang berhiaskan marmer di barisan kursi terakhir dari delapan bangku depan, yang disediakan untuk umat dan para pendeta.

".....teruntuk Tuhan pemilik kehidupan seluruh umat manusia. Ampunilah segala keburukan dan sikap tidak tahu malu hambamu yang lemah ini di masa lampau, dan lindungilah kami bersaudara dari tipu muslihat iblis yang jahat berwujud Baron......"

Tahun ini, ia baru saja menginjak usia dua puluh tahun. Di balik matanya yang berkilat polos dan pipinya yang berlemak, terdapat kurva mungil yang berkedut gelisah saat merapalkan doa. Elysia tampak seperti gadis paroki lainnya yang menghadiri kebaktian pagi, hari ini rambutnya tampak disanggul rapi dengan hiasan kerudung berenda putih indah yang menutupi surai keemasannya. Ia juga mengenakan gaun putih sederhana, dengan gugup tangannya yang ramping dan bersarung tangan katun meraba lalu mengenggam rosario.

Hari ini, Elysia berencana untuk bertemu dengan seorang pria di gereja ini. Seseorang yang bukan kerabatnya, bukan ayahnya, bukan pula kakaknya, tetapi murni orang asing.

.....dengan mengesampingkan risiko amoralitas, ia berani menyatakan diri di hadapan Tuhan bahwa pria yang ia nantikan adalah satu-satunya anugerah yang akan menyelamatkan hidupnya.

Setelah melakukan semua persiapan, Elysia kembali gemetar saat ia menyatukan kedua tangannya dan meletakkannya di depan kepalanya. Ia berharap apa yang ia lakukan bukanlah tindakan bodoh semata.

'Akankah pria itu benar-benar datang untuk menepati janji?'

Pria itu sebelumnya dengan lantang berjanji padanya. Ia berkata bahwa ia akan datang mencari Elysia di gereja yang kosong setelah kebaktian pagi pada hari Senin, ketika semua orang telah beranjak meninggalkan tempat suci itu.

'Jangan gugup, Elysia. Kau tidak boleh gemetar seperti gadis lugu di hadapannya. Kau harus tampil cantik dan menarik agar dia menginginkanmu. Kami sudah pernah bertemu sekali, dan dia bukanlah monster buas kejam seperti yang aku bayangkan. Dia lebih terbuka untuk bisa diajak bicara.'

Elysia mengingat pertemuan mereka sebelumnya. Kata-kata pria itu melintas di benaknya.

"Ini terkesan aneh. Berhubung ini pertemuan pertama kita, rasanya tidak sopan untuk mengatakan hal ini, tetapi melihatmu menangis cukup menyenangkan."

Jari-jarinya gemetar saat mengingat kata-kata itu. Elysia yakin. Pria itu pasti akan datang ke sini untuk menemuinya.

Di tengah kegusaran gadis itu, terdengar bunyi suara sepatu kulit yang bergema di lantai marmer gereja. Buk, buk, buk. Langkah kaki yang bergema dengan jelas dan tajam itu, terkesan sombong dan percaya diri seperti pemiliknya. Seperti komandan pasukan yang bertekad untuk menduduki tempat suci ini secara ilegal, langkah kakinya sangat tidak menghormati tempat sakral yang paling suci dan murni itu sehingga mengabaikan sedikit pun bentuk kesopanan.

Istri sang Singa Merah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang