06 - Kabar burung

24 3 2
                                    

*
*
*

* * *

Baik Malcolm, baik Falken, yang berdiri di samping Duke gagah, bergidik mengamati kehadiran singa yang sangat besar dan buas yang seakan sedang mengejek bentuk tubuh dua punggawa itu. Saat mereka berdiri mematung, gemetar seperti anjing yang ketakutan, Hadeon yang telah bertransformasi ke dalam wujud berangasnya itu mengangkat pandangannya yang tajam ke arah Malcolm.

"Sudah kubilang jangan membuatku mengulangi perkataanku!?"

"Eek! Hic, y-ya, siap salah y-ya tuanku..."

"Kalau mengerti, jangan halangi jalanku!""

"A-seperti yang tuan perintahkan!"Malcolm segera menyingkir, memberi akses tuannya untuk lewat.

Hadeon berhenti dan menoleh ke arah gereja tempat gadisnya berada. Bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman samar.

Jantungnya berdentam lebih cepat. Itu adalah sensasi yang tidak dapat dipuaskan oleh medan perang atau pertempuran berdarah.

Dan debaran itu hadir saat kepala Hadeon sedang dipenuhi oleh satu ingatan.

Elysia Pearlman.

Meskipun ia belum sepenuhnya menyadari nama perasaannya sendiri, saat ia memasuki gereja dan melihat gadis yang mengenakan mantilla dari arah belakang, ia bereaksi seperti singa yang mencium bau darah untuk pertama kalinya setelah seumur hidup tidak mencium bau tajam dan menggiurkan itu.

Fakta menariknya tidak hanya itu, manisnya aroma dari tubuh gadis itu--hanya dengan memikirkannya saja bisa membuat tenggorokan dan hatinya terbakar gairah. Aroma yang melekat di telapak tangannya masih membekas erat.

Merasakan sensasi aneh itu, Hadeon mengepalkan tinjunya dengan kuat hingga kuku-kuku tajamnya menancap di telapak tangannya.

Ia sudah membulatkan tekad. Ia akan menjadikan gadis itu 'miliknya'. Ia tidak akan berhenti mengerahkan segala cara sampai mencapai tujuannya.

Sementara itu, dua orang pria--tidak sepenuhnya--sejatinya keduanya juga tergolong ras binatang--masih tetap tidak bisa beradaptasi dengan wujud Hadeon yang telah berevolusi.

'Aku belum pernah melihat tuan seperti ini sebelumnya.'

'Apa kau pikir aku pernah? Ini juga pertama kalinya bagiku.'

Malcolm, yang menyaksikan ekspresi marah tuannya, mundur selangkah dan mencondongkan tubuhnya ke arah Falken. Bahkan Falken, yang biasanya tidak terpengaruh oleh banyak hal, dengan cepat juga merapatkan tubuh merindingnya ke arah Malcolm, menghindari aura ganas tuan mereka yang sedang dalam wujud raja rimba. Kedua punggawa bangsawan Lark itu saling berpelukan panik takut dijadikan santapan penutup, membathin gamang.

'Betapa menyenangkannya jika Ban ada di sini.'

'Aku sepemikiran.'

Mereka menelan air mata mereka, mengingat Ban, bawahan lain dari keluarga bangsawan yang baru-baru ini mengambil cuti tanpa batas waktu karena sakit. Setidaknya tuan mereka akan berpura-pura mendengarkan kata-kata Ban.

"Malcolm."

Kemudian, tuan mereka menoleh ke arah mereka.

Istri sang Singa Merah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang