Bagian enam; maaf dan perdamaian

14 2 0
                                    

Sementara itu, Nathanael dan Candra memilih untuk duduk di sebuah bangku yang menghadap ke danau kecil di dekat villa. Mereka duduk dalam diam sejenak, menikmati pemandangan danau yang tenang sebelum Nathanael memecah keheningan.

"Candra," Nathanael memulai dengan suara pelan, "aku tahu saat itu aku sering egois, dan aku nggak pernah benar-benar meminta maaf atas semua itu."

Candra mengangguk, senyumnya tipis tapi penuh pengertian. "Aku juga punya salah kok, Nat. Tapi egoismu beneran hal yang paling susah aku hadapin saat itu. Kita nggak bisa terus bertahan dalam hubungan yang hanya melulu isinya tentang kamu."

Nathanael menundukkan kepalanya, merasakan rasa bersalah yang lama terpendam. "Aku nyesel, Can. Aku seharusnya lebih memperhatikan perasaanmu. Aku harap, kamu bisa memaafkanku."

Candra menatap Nathanael dengan lembut. "Iya, aku udah maafin kamu, Nat. Mungkin, waktu itu kita memang nggak cocok, dan itu sudah menjadi bagian dari perjalanan kita."

Nathanael tersenyum, meskipun ada sedikit kesedihan di matanya. "Aku senang mendengarnya. Mungkin kita memang lebih baik seperti ini, sebagai teman."

Di tempat lain, Jayden dan Rakala memilih untuk berjalan-jalan di sekitar halaman belakang villa, menikmati sinar matahari yang mulai meredup. Rakala tampak gugup, sementara Jayden mencoba untuk tetap tenang.

"Rakala, aku ingin kita bicara tentang apa yang terjadi dulu," Jayden memulai dengan hati-hati. "Aku tahu kita putus karena cemburu dan salah paham, tapi aku ingin kita jujur satu sama lain sekarang."

Rakala menghela napas panjang sebelum menjawab. "Iya, maaf karena dulu aku dulu cemburu, selalu kayak gitu Jayden. Aku merasa kamu selalu dekat dengan orang lain, dan itu membuatku merasa nggak aman."

Jayden mengangguk. "Aku paham perasaanmu, Rakala. Tapi aku juga berharap kamu bisa percaya sama aku lebih. Semua itu hanya salah paham, dan aku tidak pernah ingin kamu merasa seperti itu. Aku nggak pernah sedikit pun selingkuh."

Rakala tersenyum kecil, merasa sedikit lega. "Aku tahu itu, setelah kita putus aku juga baru sadar akan hal itu. Mungkin memang aku harus lebih percaya padamu waktu itu. Tapi... aku juga belajar banyak dari semua ini."

Jayden menatapnya dengan penuh penghargaan. "Dan aku senang kita bisa bicara sekarang. Mungkin ini cara kita untuk benar-benar menutup bab ini dengan baik. Dan mungkin nanti kita bisa melanjutkan cerita kita?" Ucap Jayden penuh harap kepada Rakala yang dibalas dengan senyuman tulusnya.

Di sisi lain, Michael dan Jimmy memutuskan untuk menikmati senja di atas bukit kecil yang menghadap ke villa. Mereka duduk berdampingan, memandangi matahari yang hampir tenggelam.

"Jimmy," Michael memulai pembicaraan dengan tenang dan santai, "Sebenarnya aku bingung apa yang dibicarakan dalam hubungan ini. Tapi aku tahu kita berpisah karena kita berdua terlalu dominan dalam hubungan ini. Dan sejujurnya, aku rasa kita lebih cocok sebagai sahabat."

Jimmy tertawa kecil, mengangguk setuju. "Kamu benar, Mike. Kita berdua punya karakter yang kuat, dan itu membuat kita bentrok. Tapi sebagai sahabat, kita lebih bisa saling mendukung. Dan bodohnya kita baru sadar itu setelah 1 bulan jadian. Itu pun karena orang lain."

Michael tersenyum. "Haha kita adalah pasangan aneh.. Tapi aku senang kita bisa tetap dekat, meskipun hubungan kita tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Aku masih menghargai semua waktu yang kita lalui."

Jimmy menatap Michael dengan senyum penuh rasa syukur. "Aku juga sih Mike. Aku akan selalu menghargai persahabatan kita lebih dari apapun. Thank you atas hubungan singkat dan kocak kemarin" Ucap Jimmy sambil bergurau.

Sore itu mungkin berakhir dengan matahari yang terbenam di kejauhan, tapi mereka tahu bahwa setiap akhir adalah awal dari sesuatu yang baru. Kita tidak tau selepas acara ini mereka akan kembali bersama sebagai pasangan, atau bukan, tetapi mereka akan terus membawa kenangan ini sebagai bagian dari siapa mereka. Dan dengan setiap langkah yang mereka ambil setelah ini, hati mereka akan lebih kuat, lebih penuh dengan pengertian, dan lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang di masa depan.

Waktu menghabiskan senja dengan masalalu pun berakhir, mereka segera bangkit berdiri. Tanpa banyak kata lagi, mereka berjalan beriringan dan mulai berkumpul menuju kehidupan yang akan membawa mereka ke arah yang berbeda. Langkah demi langkah, mereka melangkah menuju kehidupan yang tak lagi sama—kehidupan yang mungkin membawa mereka pada jalan yang berbeda, tetapi pada momen ini, ada satu hal yang mereka pahami dengan sepenuh hati.

Sore yang tadinya penuh dengan pertanyaan, keraguan, dan luka, kini berubah menjadi sore yang dipenuhi dengan penerimaan. Bukan hanya tentang memaafkan satu sama lain, tetapi juga tentang memaafkan diri mereka sendiri atas semua rasa sakit dan kegagalan yang pernah mereka alami. Mereka sadar, cinta yang dulu pernah ada tidak pernah benar-benar hilang; cinta itu hanya berubah bentuk—menjadi pelajaran, menjadi kekuatan, menjadi memori yang akan selalu melekat dalam diri mereka.

Ketika mereka berjalan di mana matahari telah tenggelam sepenuhnya di cakrawala, ada sesuatu yang berbeda dalam diri mereka. Ada kedamaian yang perlahan merayapi hati mereka, sebuah kedamaian yang tidak berasal dari akhir yang bahagia, tetapi dari penerimaan yang tulus. Mereka telah melepaskan beban yang selama ini mereka pikul, dan kini, meski berjalan ke arah yang berbeda, mereka tahu bahwa mereka telah menemukan kedamaian yang sejati.

Indahnya senja pada hari ini akan selalu menjadi pengingat—pengingat tentang keberanian untuk melepaskan, tentang kekuatan untuk memaafkan, dan tentang cinta yang tidak lagi memenjarakan, melainkan membebaskan.

THE EXES ESCAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang