2. Obrolan sensitif

79 11 1
                                    

Follow ig: @diniisukmaa

Tandai typo dan selamat membaca!

*****

Jam menunjukan pukul 20.00 malam. Semua keluarga besar sudah pulang sejak tadi, rumah menjadi sepi bahkan hanya tersisa Nayarra dan Randy saja.

Agatha turun menuju dapur, gadis itu lapar sebab hanya makan saat istirahat di sekolah tadi. Melihat banyak makanan di meja ia mengambil seperlunya tidak lupa dengan air putih, nampan berisikan makanan itu dibawanya menuju kamar tanpa menatap kedua orang tuanya lagi. Sedangkan dua orang dewasa itu menatap sendu pada putri mereka.

"Tadi dia bener-bener nggak keluar? Raden nggak berhasil bujuk dia?" tanya Rendy pada istrinya.

Nayarra menggeleng pelan dengan tatapan mata terus menatap ke arah tangga.

"Bahkan Raden cape Mas, dia bilang ke aku kalo putri kita keras kepala," jawab Nayarra sedih.

Rendy mengembuskan napas lelah, ia tidak tau lagi bagaimana cara menasehatinya. Sebagai seorang Ayah ia sangat sedih melihat keadaan putrinya yang terus-terusan murung.

Ia bangkit dari duduknya, melangkah menuju kamar putri semata wayangnya membuat Nayarra mengernyit heran namun tetap mengikuti dari belakang.

Pintu yang terbuka tiba-tiba membuat Agatha terkejut, gadis itu bahkan meletakan kembali sendok berisi makanan ke piring.

"Kenapa?" tanyanya bingung, menatap orang tuanya.

Randy tidak langsung menjawab, melainkan menghampiri putrinya yang tengah makan. Tangannya mengelus rambut halus panjang itu disertai senyuman membuat Agatha tambah bingung.

"Habisin makanan kamu terus ke bawah, Ayah tunggu."

Randy meninggalkan kamar putrinya setelah mengatakan itu namun Nayarra masih setia berdiri di ambang pintu.

"Habisin terus temui Ayah kamu ya, Bunda ke bawah," ucap Nayarra pergi.

Gadis itu masih diam, ia penasaran apa yang ingin dibicarakan Ayahnya, apa itu tentang tadi atau bukan, ia sedikit menyimpulkan bahwa sepupunya memberi tau ke pada orang tuanya.

Ia melanjutkan makannya, walau pun pikirannya terus memikirkan ucapan sang Ayah.

Selang beberapa waktu, setelah makanan itu habis, Agatha turun menghampiri Ayahnya.

"Ada apa?" tanyanya tanpa basa basi, bukan apa-apa ia hanya tidak ingin bertele-tele.

Pria dewasa itu menatap putrinya dalam, hingga beberapa detik barulah ia mulai berbicara.

"Kenapa tadi nggak turun? Semua nanyain kamu Sayang, semua khawatir sama kamu kenapa nggak ikut kumpul," kata Randy dengan nada lembut.

Pria itu sebisa mungkin tidak membuat putrinya kesal, ia hanya tidak ingin berdebat.

Agatha yang mendengar itu memalingkan wajahnya, ia mengembuskan napasnya saat tau apa yang dibicarakan Ayahnya.

Semua karena Aka, pikirnya.

"Sayang," panggil Randy pada putrinya yang tidak kunjung menjawab.

Gadis itu kembali menatap Ayahnya lalu menatap Bundanya juga yang berada di samping sang Ayah.

"Tata lagi pangen sendiri Yah, Tata lagi nggak pengen aja kumpul," jawabnya jujur.

Nayarra menatap sedih putrinya, selalu menyendiri dan lebih menyukai ketenangan. Semenjak kepergian pemuda itu membuat gadis itu mulai berubah.

"Butuh pelukkan?" tanya Randy merentangkan tangannya.

Ia sangat tau, putrinya hanya butuh ketenangan dan seseorang yang bisa memahaminya untuk saat ini, menemani dan memberi semangat serta tidak menyudutkan namun mencoba menyadarkan dengan cara yang baik.

Mata Agatha tiba-tiba berkaca-kaca, hatinya luluh dengan perlakuan Ayahnya ini. Tanpa berpikir panjang lagi ia mengambur ke pelukan Ayahnya.

"Jangan dipaksain, Ayah tau kok apa yang putri Ayah rasain, nggak perlu memaksa apalagi sampe buat kamu sendiri cape, Nanti ada kalanya kamu bakal ikhlas dengan sendirinya Sayang, memang nggak mudah tapi Ayah yakin kamu kuat," bisik Randy lembut di telinga putrinya. Tangannya mengelus rambut halus itu dengan sayang.

Agatha tidak menangis, gadis itu hanya diam mendengarkan setiap ucapan Ayahnya. Jika biasanya ia mengabaikan atau bahkan marah namun kali ini ia diam saja.

"Kamu tau, Tuhan itu sangat baik, ketika dia mengambil dia tidak lupa memberi penggantinya, jangan sedih lagi ya," ujar Randy sambil melepas pelukan dan menatap putrinya.

"Tata tau Ayah, tapi itu sulit, dia itu beda dari yang lain, dia sederhana tapi dia istimewa, dia punya caranya sendiri untuk mencintai dan Tata belum pernah ketemu orang kaya dia selama ini," balas Agatha menatap Ayahnya sendu.

Tentang perlakuan laki-laki itu kepadanya, tentang cara bicaranya dan semua hal yang ada di Alfa membuatnya nyaman. Walaupun tidak ada ikatan yang pasti namun setidaknya saat itu mereka berdua mengetahui hati masing-masing.

"Tata mohon Ayah jangan paksa untuk cepet-cepet lupain, itu susah, Ayah pernah muda kan? jadi Tata yakin Ayah paham gimana rasanya." Karena tidak mau lagi memperpanjang obrolan sensitif itu, ia lebih baik pergi ke kamar.

Di pijakan tangga pertama, ia menoleh singkat. "Jangan khawatirin Tata."

Hanya ucapan singkat itu yang keluar dari bibirnya membuat kedua orang tuanya tidak bisa lagi berkata-kata.

"Lagi-lagi sama," gumam Nayarra, sebagai seorang Ibu serta sesama perempuan itu paham betul bagaimana rasanya cuma apakah salah jika mencoba berdamai dan melupakan? Namun nyatanya setiap orang mempunyai porsinya masing-masing, ada yang mudah serta ada yang susah melupakan seperti putrinya saat ini.

sementara Randy menatap kepergian putrinya dengan perasaan tidak menentu.

"Maafin Ayah," lirihnya.

***

Di kamar, Agatha duduk diam di meja belajarnya, setelah obrolan dengan orang tuanya tadi ia kembali bimbang. Hatinya menjadi tidak menentu.

Untuk menenangkan hatinya, ia memutuskan keluar dan duduk di balkon menatap indahnya bintang yang malam ini bertaburan di langit.

Tidak lupa membawa bingkai foto ia dan Alfa kala itu yang diam-diam ia ambil di dream book milik Alfa dan ditaruh di meja belajarnya, hal tersebut semata-mata agar rindunya terhadap laki-laki itu sedikit terobati.

Dalam kesunyian malam, ia duduk diam tanpa ada suara-suara apapun kecuali angin yang bertiup kencang sampai menggoyangkan pepohonan.

Di kepalanya layaknya sebuah film, semua momen dari awal peremuan hingga hari di mana Alfa dimakamkan dan ia tidak hadir terus berputar tiada henti.

Kata-kata penenang dan pengertian dari semua orang terdekat musnah begitu saja jika ia sudah kembali bersedih, seolah kata-kata itu tidak pernah didengarnya.

"Bahkan sampai satu tahun lamanya kamu bener-bener nggak pergi dari pikiran aku Fa," lirihnya sambil mengembuskan napas lelah.

***

Jangan lupa vote komennya guys.

Bantu aku ramein cerita ini yaa, kaya yang sebelumnya bahkan kalo bisa lebih.

Mau double up tapi udah terlalu malem, next partnya aku up besok ya guys.

See you next chapter

29 Agustus 2024

Dear LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang