Di sebuah ruangan kelas besar dengan dinding kaca yang menghadap ke taman kampus, Wonyoung duduk sambil menatap kosong catatan di depannya. Kuliahnya baru saja selesai, dan teman-temannya satu per satu mulai meninggalkan ruangan. Tapi Wonyoung, yang biasanya bergegas menuju kelas berikutnya atau ke tempat kerja paruh waktunya, kali ini hanya terdiam. Hatinya penuh kegelisahan; pikirannya tak pernah lepas dari masalah finansial yang membelenggu keluarganya. Sejak ayahnya jatuh sakit dan ibunya meninggal mendadak, beban hidup semakin berat, dan ia tahu tak banyak yang bisa dilakukannya untuk meringankan situasi ini.
Dari sudut ruangan, Sunghoon mengamati Wonyoung. Profesor muda itu selalu berwibawa dan berpenampilan rapi, dengan wajah tampan yang sering membuat mahasiswa-mahasiswa perempuan melirik penuh kagum. Namun, di balik wajah tenangnya, Sunghoon memiliki sisi gelap—keinginan kuat untuk memiliki kendali atas orang lain. Wonyoung, mahasiswi cerdas dengan tekad baja dan kepribadian yang menawan, telah menarik perhatiannya sejak awal semester. Ia mengamati bagaimana Wonyoung berjuang keras untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan mengelola kehidupan pribadinya, bahkan tanpa meminta bantuan siapa pun.
Hari itu, Sunghoon mendekati Wonyoung dengan langkah tenang namun penuh maksud tersembunyi. "Wonyoung," panggilnya dengan suara rendah. Wonyoung tersentak, sedikit terkejut melihat Sunghoon berdiri di samping mejanya.
"Pak Sunghoon," balasnya, berusaha menyembunyikan rasa gelisah yang tersirat di wajahnya.
"Apakah kamu baik-baik saja? Kamu terlihat lelah," tanya Sunghoon dengan senyum yang tampak hangat, namun mata tajamnya tak luput memperhatikan setiap ekspresi di wajah Wonyoung. Pertanyaannya mungkin tampak biasa, tapi Wonyoung merasakan ketertarikan tertentu dalam tatapan Sunghoon yang membuatnya merasa tak nyaman.
"Oh, tidak, saya baik-baik saja, Pak," jawabnya cepat, menundukkan kepala.
Sunghoon menatapnya sejenak sebelum melanjutkan. "Wonyoung, saya tahu kamu mahasiswi yang bertalenta. Akan sangat sayang jika kamu terbebani masalah yang bisa mengganggu prestasimu di sini." Ia berhenti, memandang Wonyoung dengan pandangan penuh maksud. "Kalau kamu membutuhkan bantuan, mungkin saya bisa menawarkan solusi."
Wonyoung merasa tenggorokannya mendadak kering. Tawaran itu terdengar menggoda, tapi ia merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian seorang dosen kepada mahasiswa. Meski hatinya penuh kecemasan soal biaya rumah sakit dan kuliahnya yang nyaris tak bisa ia lanjutkan, ia merasa enggan untuk menerima bantuan dari Sunghoon. "Terima kasih, Pak, tapi saya rasa saya masih bisa mengatasinya."
Sunghoon mengangguk, seolah menghormati keputusan itu. "Baiklah. Namun, jika kamu berubah pikiran, tawaran saya tetap terbuka." Ia tersenyum lagi, lalu meninggalkan Wonyoung yang masih diliputi kebingungan.
Wonyoung mencoba melanjutkan harinya tanpa memikirkan tawaran itu, namun semakin lama, ia semakin dihantui oleh rasa takut akan masa depan. Ayahnya yang kritis, hutang yang menumpuk, serta beasiswa yang mungkin tidak cukup untuk menutupi biaya kuliah berikutnya, semua itu seperti menghimpitnya tanpa ampun. Ia tahu ia tak bisa meminta bantuan siapa pun—teman-temannya juga berada dalam keadaan finansial yang tak jauh lebih baik, dan keluarganya yang lain pun sudah menutup pintu.
Beberapa hari kemudian, tepat ketika Wonyoung pulang dari rumah sakit setelah mengunjungi ayahnya yang baru saja mengalami kondisi kritis, ia mendapat pesan singkat dari Sunghoon yang memintanya bertemu di ruang dosen pada sore itu. Dengan berat hati dan pikiran kalut, ia memutuskan untuk memenuhi permintaan tersebut.
Saat tiba di ruang dosen yang sepi, Wonyoung melihat Sunghoon sudah menunggunya dengan ekspresi tenang. Meja kerjanya rapi, hanya ada beberapa dokumen yang tersusun rapi di samping sebuah cangkir kopi yang hampir kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECRET AND SINS| Sunghoon Wonyoung Jake ENHYPEN
RomanceAs soon as I see you, I can't stop looking at you from all angles. I want to remember every stroke of your face, every fold, every detail to the smallest and finest of them.